Logo ABC

Kerja di Pedalaman Ubah Persepsi Orang Indonesia soal Aborijin

Yutthika Addina dan Theodorus Bayu Pratama bersama manajernya di dapur toko komunitas di Papanya, Kawasan Utara Australia.
Yutthika Addina dan Theodorus Bayu Pratama bersama manajernya di dapur toko komunitas di Papanya, Kawasan Utara Australia.
Sumber :
  • abc

Persepsi dua anak muda Indonesia tentang stigma masyarakat aborijin yang negatif berubah ketika bekerja di pedalaman Australia. Sejarah interaksi nenek moyang aborijin dengan pelaut Makassar di masa lampau membuat mereka diterima dengan baik.

Di Australia terpelihara persepsi umum atau stereotype yang negatif tentang masyarakat aborijin sebagai anti sosial dan lekat dengan masalah ketergantungan alkohol.

Persepsi itu juga sempat dimiliki Theodorus Bayu Pratama dan Yutthika Addina, pemegang work and holiday visa (WHV) asal Bandung.

Bayu datang ke Australia pada awal tahun 2017 sementara Yutthika pada akhir 2018.

"Saya pernah tinggal di Cairns dan Adelaide, sering bertemu dengan orang aborijin tapi tidak pernah berinteraksi langsung dengan mereka. Stigma tentang orang aborijin di kota cenderung tertutup dan anti sosial," kata Bayu.

"Mereka sering disebut agresif, kasar, apalagi kalau di bawah pengaruh alkohol. Meski saya berusaha netral dan tidak percaya begitu saja stereotype itu, tetap berpengaruh ke dalam persepsi saya," katanya kepada wartawan ABC Indonesia Alfred Ginting.

Pada Februari 2019, Yutthika mendapat pekerjaan sebagai penjaga toko untuk komunitas aborijin di Papunya, Kawasan Utara Australia.

Foto udara pemukiman Papunya. Foto udara pemukiman Papunya.

ABC News: Claire Campbell

Kawasan pedalaman Australia biasanya sulit mencari pekerja sehingga pekerjaan banyak diambil oleh peransel (backpacker) superti Yutthika atau pensiunan.

Sebagai insentif dan untuk mengatasi tantangan jarak, pekerjaan di pedalaman Australia sering ditujukan bagi pasangan, dan Bayu punya pengalaman bekerja di dapur.

Menghadapi masyarakat dengan etika yang berbeda