Gawat, 2.100 Data Pribadi Warga Indonesia Bocor ke Intelijen China

ilustrasi hacker.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Sebuah perusahaan China yang memiliki hubungan dengan jaringan militer dan intelijen Beijing, diduga telah mengumpulkan basis data yang besar berisi informasi pribadi terperinci tentang ribuan orang. Termasuk yang jadi korban adalah warga negara Indonesia.

AS Tuntut 7 Warga China atas Peretasan Jahat yang Disponsori Negara

Database 2,4 juta orang itu dibocorkan dari perusahaan Shenzhen Zhenhua Data, yang diyakini digunakan oleh dinas intelijen China. Klien utama Zhenhua antara lain Tentara Pembebasan Rakyat dan Partai Komunis China.

Baca: Gara-gara Artikel Marinir, Perang Amerika-China Bisa Pecah

China Gelar Kompetisi Sunat Online, Diikuti Puluhan Dokter Bedah

Informasi pribadi yang dikumpulkan itu meliputi tanggal lahir, alamat, status perkawinan, foto, asosiasi politik, kerabat dan identitas media sosial. Perusahaan itu bahkan mencuri data dari Twitter, Facebook, LinkedIn, Instagram bahkan TikTok, termasuk berita, catatan kriminal dan pelanggaran.

Selain diambil dari materi open-source, informasi yang dicuri diduga bersumber dari catatan bank, lamaran pekerjaan dan profil psikologis. Perusahaan itu juga diyakini telah mengambil beberapa informasi dari dark web.

Mobil Baru BYD Rp200 Jutaan Mulai Dikirim ke Diler

Dari 250.000 catatan yang ditemukan, ada 52.000 berasal dari Amerika Serikat, 35.000 Australia, 10.000 India, 9.700 Inggris, 5.000 Kanada, 2.100 Indonesia, 1.400 Malaysia dan 138 dari Papua Nugini.

Dari database tersebut, beberapa pihak yang datanya dicuri antara lain politisi negara bagian, perwira militer, diplomat, akademisi, pegawai negeri, insinyur, jurnalis, pengacara hingga akuntan.

Basis data tersebut bocor ke seorang akademisi AS yang berbasis di Vietnam, Profesor Chris Balding. Hingga 2018, dia bekerja di Universitas Peking sebelum meninggalkan China, dengan alasan kekhawatiran akan keselamatan dirinya.

"China benar-benar membangun pengawasan besar-besaran, baik di dalam negeri maupun internasional. Mereka menggunakan berbagai macam alat diambil dari sumber publik dan data non-publik," ungkap Balding, seperti dilansir ABC. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya