Logo DW

Kuliah Fisika Teknik di Jerman, Bermodal Pintar Tidaklah Cukup

Privat
Privat
Sumber :
  • dw

"Saya pas SMA gak pinter-pinter amat, main bola juga gak jago-jago amat, kalau melamar ke Perguruan Tinggi Negeri gak mungkin masuk nih,"ujar Raffly Muhhamad, Mahasiswa Indonesia yang kini sedang menempuh studi magister teknik fisika di Technische Universitat Berlin di Jerman. Saat itu pilihan studi ke luar negeri pun mulai diliriknya. "Australia mahal, Singapura juga, saya akhirnya lirik Jerman, karena studinya kan gratis... tapi ya biaya hidupnya gede juga" guraunya. Jerman pun jadi pilihan sebagai negeri tujuan studinya.

2013 Pertama kalinya Raffly Mohammad menginjakkan kakinya di Jerman. Saat itu ia diterima di salah satu "studienkolleg" di kota kecil Koethen untuk menjalani satu tahun persiapan studi sebelum lanjut ke universitas. Meski menghadapi banyak penolakan dari universitas, keinginannya untuk melanjutkan studi ke Ibukota Jerman, Berlin, pun tercapai. Di tahun 2014 dari Koethen dia meneruskan studi sarjananya di Technische Universität (TU) Berlin jurusan Fisika Teknik - Mekanika Fluida.

"Jalannya gak selalu mulus, keterima di TU Berlin, sebelumnya sudah banyak dapat penolakan. Cuma inget Bapak udah investasi banyak untuk studi kesini kalau gak habis-habisan sia-sia semua, dari situ bangkit lagi,"jelas Raffly.

Sembari berkuliah, ragam pekerjaan sampingan sebagai mahasiswa dilakukannya untuk bertahan hidup. Dari bekerja sebagai petugas pembersih hotel, petugas pembersih di pabrik coklat, bekerja di dapur panti jompo, bekerja di tempat percetakan, hingga bekerja start-up dilakukannya dengan giat. Menyeimbangkan antara kerja, kuliah, bersosialisasi tentu tidaklah mudah. "Saya belajar sih dari buku the art of saying no gimana nolak yang gak bukan fokus saya, yang penting saya seimbangkan kuliah, kerja, olahraga, dan ibadah," tegas Raffly.

Raffly mengakui untuk studi teknik di Jerman, bekal pintar tidaklah cukup. Mahasiswa harus tekun dan tahu betul apa fokus mereka, banyak tantangan untuk memulai kehidupan baru di suatu negara. "Kita itu harus kerja ekstra keras, dari bahasa jerman saja, bukan bahasa ibu kita kan, itu udah ekstra kerja dari dengar-paham-jawab. Belum tugas kuliahnya... Pintar aja gak cukup,"ujar Raffly.

Pertama menginjakkan kaki di Jerman Raffly mengenal sekitar 40 mahasiswa Indonesia lainnya. Tapi banyak dari mereka yang kembali ke Indonesia sebelum menyelesaikan studinya,

Raffly dan Ide Teknologi Ramah Lingkungan