Utak-Atik Konstitusi Demi Langgengkan Kekuasaan

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin
Sumber :
  • Atlantic Council

VIVA – Vladimir Putin dan Recep Tayyib Erdogan merupakan  'success story' pemimpin di era demokrasi modern yang meyakinkan perubahan konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan mereka sebagai pemimpin eksekutif negara. Julukan pun bermunculan seiring peluang mereka menambah masa jabatan.

MKMK: Anwar Usman Terbukti Langar Etik, Dijatuhi Sanksi Teguran Tertulis

Dalam demokrasi modern mensyaratkan pembatasan masa jabatan presiden atau penguasa eksekutif hanya boleh dipilih maksimal dua periode. Pembatasan itu mengacu pada prinsip dasar demokrasi bahwa kekuasaan tidak terpusat di satu tangan, tapi harus menyebar seluas mungkin sehingga terjadi sirkulasi elite kepemimpinan.

Karenanya, negara-negara penganut sistem demokrasi merumuskan dalam konstitusi mereka untuk pembatasan masa jabatan presiden. Seperti di Indonesia, kepemimpinan seorang presiden dibatasi maksimal dua periode, yakni 10 tahun. Lima tahun di periode pertama, dan jika terpilih bisa melanjutkan lima tahun di periode kedua.

Mahfud Tantang MK Kembalikan Marwahnya: Berani Ndak?

Pun dengan Amerika Serikat. Konstitusi AS membatasi masa jabatan presiden selama empat tahun di periode pertama. Bisa dilanjutkan empat tahun di periode berikutnya, jika terpilih kembali. Franklin D Roosevelt tercatat sebagai satu-satunya Presiden AS yang terpilih empat kali dalam masa jabatan dari tahun 1933 hingga 1945.

Seiring perkembangan demokrasi dan kontelasi politik suatu negara, pembatasan kekuasaan presiden ini belakangan menjadi 'bargaining' politik para elite untuk melanggengkan kekuasaan sebagai presiden. Beragam alasannya, mulai dari stabilitas politik, perbaikan ekonomi pasca terpuruk atau memang dasarnya tangan besi.

Anies di Sidang MK: Apakah Konstitusi Digunakan untuk Pelanggengan Kekuasaan Tanpa Pengawasan?

Berikut adalah contoh pemimpin-pemimpin dunia yang 'sukses' melanggengkan jabatannya mereka sebagai presiden: 

1. Vladimir Putin

VIVA Militer: Presiden Rusia, Vladimir Putin

Photo :
  • Washington Times

"Tanpa Putin, tidak ada Rusia." Begitu pandangan deputi kepala staf Kremlin yang juga disuarakan jutaan warga Rusia yang selama dua dekade terakhir yang menempatkan Vladimir Putin pada tampuk kekuasaan.

Putin menjabat Presiden Rusia selama empat periode secara berturut-turut. Periode pertama (2000–2004); Periode kedua (2004-2008). Kemudian, Putin memenangkan pemilu presiden 2012 dan menempatkannya di periode keempat sebagai Presiden Rusia (2012-2018). 

Putin juga berjaya pada pemilihan presiden 2018 dengan meraih lebih dari 76 persen suara untuk periode keempat (2018-sekarang).

Pada Januari 2020, Presiden Rusia, Vladimir Putin menggagas agar konstitusi diamandemen berdasarkan pemungutan suara rakyat. Salah satu hal yang diamandemen adalah masa jabatan presiden diperpanjang dua masa jabatan, sehingga Putin bisa kembali menjadi presiden.

Referendum, yang semula dijadwalkan digelar pada 22 April 2020, ditunda akibat karantina wilayah terkait virus corona dan dihelat pada 1 Juli 2020. Hasilnya, Komisi Pemilihan Umum Rusia mengumumkan 78 persen suara pemilih Rusia menyatakan dukungan mereka terhadap perubahan konstitusi dan 21 persen yang menentang.

Berdasarkan amandemen terbaru, Presiden Rusia kini hanya boleh menjabat sebanyak dua periode, atau maksimal 12 tahun, yang bisa dilakukan berturut-turut maupun berselang. Pengaturan ulang konstitusi ini memungkinkan Putin mencalonkan diri lagi sebagai presiden pada tahun 2024, ketika masa jabatannya berakhir.

Itu artinya, Putin dimungkinkan untuk tetap berkuasa sampai 2036 atau hingga usianya mencapai 83 tahun. 

Putin tidak sepenuhnya setuju dengan gagasan untuk menghilangkan batasan masa jabatan presiden sama sekali. Tetapi tentang masalah apakah batas masa jabatannya sendiri harus disetel ulang ke nol, dia setuju dengan gagasan itu.

"Ketika sebuah negara mengalami pergolakan dan kesulitan seperti itu," kata Putin dalam pidatonya saat mendukung amandemen pengaturan ulang batas jabatan presiden dilansir Vox. "Stabilitas mungkin lebih penting dan harus diberi prioritas,"

"Untuk jangka panjang, masyarakat harus memiliki jaminan untuk pergantian kekuasaan secara teratur. Inilah mengapa saya tidak percaya bahwa pembatasan jumlah masa jabatan presiden dihapuskan dari Konstitusi," sambungnya.

2. Recep Tayyib Erdogan

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

Photo :
  • ANTARA/REUTERS/HO-Presidential Press Office
 

Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan juga punya kans untuk memperpanjang masa jabatannya melebihi dua periode. Perubahan konstitusi itu dilakukan tak lama setelah Erdogan kembali memenangkan pemilu presiden Turki tahun 2017, dan semakin mengukuhkan posisinya sebagai orang nomor satu di negara tersebut.

Di tahun itu pula, Turki menggelar referendum konstitusi yang mengubah signifikan sistem politik Turki. Amandemen konstitusi itu semakin memperkuat kekuasaan presiden, sekaligus memberikan celah bagi Erdogan untuk bisa menjabat hingga 2029, jika mayoritas suara di Majelis Nasional  mengendaki. 

Dalam jajak pendapat itu, sebanyak 51 persen pemilih Turki mendukung undang-undang baru yang menghapus jabatan perdana menteri dan memberikan kekuasaan lebih besar kepada presiden. Dengan demikian, Erdogan berwenang membentuk kementerian, membubarkan parlemen, mengangkat hakim dan jaksa hingga pemecatan pegawai negeri tanpa persetujuan parlemen.

Seruan untuk mengamandemen konstitusi Turki ini kembali digaungkan Presiden Erdogan setelah menggelar rapat kabinet di Ankara pada Senin 1 Februari 2021. Partai AK dan koalisinya yang mendukung Presiden Erdogan mungkin akan menjadi inisiator konstitusi baru Republik Turki di parlemen.

"Mungkin sudah waktunya bagi Turki untuk membuka kembali perdebatan tentang konstitusi baru. Jika kami mencapai pemahaman bersama dengan mitra koalisi kami, kami dapat mengambil tindakan untuk konstitusi baru di masa depan," kata Erdogan usai rapat kabinet di Ankara pada Februari 2021 lalu dilansir BBC.

Banyak kalangan menilai Erdogan sedang mencari cara untuk melanggengkan kekuasaannya melalui perubahan konstitusi dan tak ubahnya sebagai pemimpin otoriter. Popularitasnya diklaim telah memudar sejak Erdogan menggulung para pelaku kudeta gagal pada tahun 2016. Tapi nyatanya, setahun setelah upaya kudeta tersebut, Erdogan malah terpilih untuk periode kedua.

Namun tak bisa ditampik, kegagalan kudeta militer membuat Turki tahun 2016 lalu menjadi pemantik amandemen konstitusi. Turki harus menjalani masa darurat nasional selama dua tahun untuk memulihkan keadaaan.

3. Xi Jinping

VIVA Militer: Presiden China, Xi Jinping

Photo :
  • Toronto Star

Parlemen China menyetujui pencabutan pasal di konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua kali periode pada Maret 2018. Dilansir BBC, pembatasan ini dicabut oleh parlemen, yang dengan sendirinya membuka lebar-lebar kemungkinan Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup.

Penghapusan pasal pembatasan masa jabatan presiden itu diusulkan oleh Partai Komunis China yang berkuasa penuh di negara itu. Kongres Rakyat Nasional biasanya hanya mengesahkan usulan-usulan yang sudah lebih dulu disiapkan partai

Seperti diketahui, sistem politik China dikuasai Partai Komunis China yang berkuasa sejak 1949 dan pemerintah hanya menjalankan perintah-perintah partai. Dalam beberapa dekade terakhir, semua pemimpin China berasal dari Partai Komunis, dan menjabat dua kali periode atau dua kali lima tahun.

Hanya dua delegasi yang menentang perubahan itu, tiga orang abstain, sementara sisanya yaitu 2.964 suara setuju. Dengan keputusan ini, maka Presiden Xi Jinping akan tetap bisa menjabat setelah jabatan keduanya berakhir pada 2023 mendatang.
 
Pembatasan masa jabatan selama 10 tahun ini ditetapkan oleh Deng Xiaoping pada 1980-an untuk menghindari terulangnya kembali kekacauan di era Mao Zedong, yang memerintah lebih dari 30 tahun.

Dua pendahulu Xi Jinping mengikuti pola suksesi yang teratur, yakni dua periode atau 10 tahun masa jabatan lalu lengser. Namun sejak berkuasa, Xi Jinping dinilai sudah memperlihatkan gelagar bahwa dia ingin memiliki peraturan sendiri.

Xi Jinping merupakan putra dari salah seorang pendiri Partai Komunis. Dia bergabung dengan partai pada tahun 1974 dan menapak karier hingga menjadi presiden pada tahun 2013.

Di bawah kepemimpinannya, China menempuh reformasi ekonomi, kampanye antikorupsi yang tegas, dan kebangkitan nasionalisme, namun di sisi lain terjadi pemberangusan hak-hak asasi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya