Sedihnya Suku Pribumi Brasil Terlunta-lunta karena Tambang dan Cuaca

Kapal keruk emas terlihat di tepi Sungai Uraricoera, Brasil
Sumber :
  • ANTARA/Reuters

VIVA – Tiga tahun lalu, runtuhnya bendungan limbah buangan di sebuah tambang biji besi memaksa komunitas pribumi Brasil untuk pindah rumah ke tempat yang lebih tinggi.

MIND ID Pastikan Beri Kemanfaatan Bagi Daerah Wilayah Kerja, Begini Caranya

Sekarang, Sungai Paraopeba yang diguyur hujan telah membanjiri desa baru mereka dan membuat mereka kehilangan tempat tinggal lagi.

Sekitar 50 penduduk asli suku Pataxo-Hahahae telah berlindung di sekolah lokal, tetapi rumah mereka di desa Nao Xoha telah terkontaminasi oleh air sungai yang dipenuhi limbah tambang berlumpur.

KPK Bakal Usut TPPU ke Gubernur Maluku Abdul Gani Kasuba

"Kami kehilangan rumah. Kami kehilangan kamar mandi. Kami kehilangan pusat kesehatan kami. Kami kehilangan perabotan. Komunitas kami semua kebanjiran," kata Kepala Sucupira Patax-Hahahae, Rabu. 

"Air yang terkontaminasi bijih tambang membanjiri rumah dan halaman belakang kami. Tidak mungkin kami bisa tinggal di sana lagi. Kami punya banyak anak," katanya.

Sembilan Daerah Siaga dan Waspada Cuaca Ekstrem, Menurut BMKG

Hujan deras tanpa henti selama dua minggu terakhir mengguyur wilayah pertambangan negara bagian Minas Gerais di Brasil tenggara, menyebabkan bendungan meluap dan membanjiri kota dan jalan. Lebih dari 20 orang telah meninggal.

Pada Januari 2019, sebuah bendungan runtuh di sebuah tambang dekat Brumadinho yang dimiliki oleh penambang raksasa Vale SA, melepaskan semburan lumpur yang menerjang kafetaria penambangan itu dan mengubur rumah-rumah dan pertanian, menewaskan 270 orang.

Tidak ada warga suku Pataxo-Hahahae yang tewas dalam bencana tersebut. Tetapi bermil-mil ke hilir, cara hidup mereka menjadi tidak berkelanjutan di tepi sungai yang tercemar tempat mereka mandi, mencuci pakaian, dan memancing untuk sumber makanan utama mereka.

Desa tersebut memiliki 80 penduduk pada waktu itu. Keberadaan warga itu tercerabut dan mereka pindah ke tempat yang lebih aman 30 meter dari sungai. Sekarang bahkan tempat baru itu berada di bawah air.

"Sangat sedih melihat kondisi ini terjadi lagi," kata Marina Pataxo-Hahahae, seraya melihat ke halaman belakang rumahnya yang terendam banjir. (Ant/Antara)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya