Gelombang Kudeta Pukul Negara-negara Afrika Barat, Apa Pemicunya

Militer Burkina Faso sebut sudah gulingkan presiden
Sumber :
  • Antara/Reuters/Anne Mimault

VIVA – Para pemimpin Afrika Barat akan berunding untuk membahas kondisi kudeta di Burkina Faso yang dilanda konflik awal pekan ini. Burkina Faso diguncang gelombang perebutan kekuasaan militer di kawasan itu yang telah memicu kekhawatiran ketidakstabilan lebih lanjut.

Sejarah Bakal Pecah, Besok Raja Aibon Kogila Serahkan Tongkat Komandan Pasukan Tengkorak Kostrad TNI

Blok regional Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) yang beranggotakan 15 negara telah menangguhkan dan menjatuhkan sanksi juga kepada tetangga Burkina Faso, Mali dan Guinea yang mengalami kudeta. Hal itu dilakukan setelah kudeta masing-masing terjadi pada Agustus 2020 dan September 2021.

Pertemuan virtual pada hari Jumat terjadi beberapa jam setelah penguasa militer baru Burkina Faso meminta dukungan internasional dalam pidato pertamanya. Pidato itu dilakukan pertama kali sejak ia memimpin penggulingan Presiden Roch Kabore yang terpilih secara demokratis pada hari Senin lalu, dikutip dari Aljazeera.

TNI Berduka, Letkol Marolop Meninggal Dunia 2 Hari Usai Serahkan Jabatan Komandan Kodim di Papua

“Burkina Faso lebih dari sebelumnya membutuhkan mitra internasionalnya,” kata Paul Henri Sandaogo Damiba pemimpin kudeta itu dalam komentar yang disiarkan televisi pada hari Kamis, 27 Januari 2022.

“Saya meminta komunitas internasional untuk mendukung negara kita sehingga dapat keluar dari krisis ini sesegera mungkin,” lanjutnya.

Melesat Naik Pangkat Jenderal Bintang Dua TNI, Mayjen Bangun Nawoko Kini Jabat Pangdivif 3 Kostrad

Pada hari Selasa, ECOWAS mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa blok tersebut dengan tegas mengutuk kudeta. ECOWAS mennyalahkan militer dan jelas memaksa Presiden Kabore untuk mengundurkan diri di bawah ancaman, intimidasi dan tekanan.

Diketahui Kabore kini masih ditahan dan sudah muncul seruan utama PBB untuk pembebasannya.

Dalam pidatonya dari Ibu Kota Ouagadougou, Damiba mengatakan, dia akan mengumpulkan kelompok masyarakat Burkina Faso untuk menyepakati peta jalan untuk merencanakan dan melaksanakan reformasi yang diperlukan.

“Ketika kondisinya tepat sesuai dengan tenggat waktu yang akan ditentukan rakyat kita di semua kedaulatan, saya berkomitmen untuk kembali ke tatanan konstitusional yang normal,” tambahnya yang mengenakan baret merah, seragam tentara dan betatribut bendera nasional.

Para pelaku kudeta yang menyebut diri mereka Gerakan Patriotik untuk Perlindungan dan Pemulihan (MPSR) telah menahan Presiden Burkina Faso Kabore. Mereka menuduhnya gagal menahan krisis keamanan yang memburuk karena militan Al-Qaeda dan ISIL (ISIS) menegaskan kendalinya di beberapa wilayah bagian di negara itu.

Damiba mengatakan keamanan akan menjadi prioritas utama dan menempatkan negara itu pada pijakan perang.

“Kita harus secara signifikan mengurangi daerah di bawah pengaruh teroris dan dampak ekstremisme kekerasan dengan memberikan pasukan keamanan keinginan untuk berperang, dan kita harus melakukan ofensif," katanya.

Kabore terpilih pada tahun 2015 setelah pemberontakan rakyat yang memaksa mundurnya penguasa lama Blaise Compaore. Dia terpilih kembali pada tahun 2020 namun tahun berikutnya menghadapi tantangan atas jumlah korban akibat konflik yang terjadi dari negara tetangga Mali.

Pertempuran itu telah memaksa orang mengungsi dari rumah mereka di wilayah Sahel, Afrika Barat. Tahun ini saja hampir 15 juta orang di Burkina Faso, Mali dan Niger akan membutuhkan bantuan kemanusiaan. Kemudian empat juta orang lebih banyak dari tahun 2021, kata PBB pada Kamis.

“Ini adalah gambaran yang suram,” kata Martin Griffiths, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan saat ia meluncurkan seruan senilai $US2 untuk tanggapan kemanusiaan. 

"Konflik, kekeringan dan kerawanan pangan, kekerasan berbasis gender semuanya tumbuh lebih cepat dibandingkan dukungan yang tersedia,” katanya.

Para pembuat kudeta di Mali dan Guinea serta di negara Afrika Tengah Chad di mana militer mengambil alih kekuasaan pada April 2021 juga telah membentuk pemerintahan transisi dengan kesepakan para perwira militer dan warga sipil.

Para pemimpin di Mali dan Chad menyetujui transisi 18 bulan ke pemilihan demokratis. Sementara Guinea belum menetapkan batas waktunya. Otoritas Mali, disebut telah kembali pada komitmen awal mereka dan telah mengusulkan penundaan pemilihan yang semula dijadwalkan bulan depan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya