Pilpres Prancis, Isu Islamofobia Meningkat Pesat

Bendera Prancis.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Pertanyaan mengenai ‘Islam’ sudah lama menjadi duri di Prancis. Memasuki puncak pemilihan Presiden di Prancis, pandangan sayap kanan telah meresapi wacana publik tentang komunitas Muslim, imigrasi, dan keamanan di Prancis.

Alasan Citroen Masih Enggan Pasarkan Mobil Hybrid di Indonesia

Anasse Kazib, anggota serikat pekerja dan aktivis politik Prancis mengatakan bahwa undang-undang negara Prancis dan serangkaian tindakan dalam beberapa dekade telah membatasi cara hidup Muslim sebagai kedok memerangi ‘terorisme’ dan ‘Islamisme”.

Kazib yang diketahui sebagai pekerja kereta api itu mencalonkan diri dalam pemilihan Presiden 2022 di Prancis, namun dia gagal mengumpulkan 500 sponsor sebagai salah satu syarat pencalonan untuk pemungutan suara pada 10 April 2022.

5 Negara Pemegang Hak Veto di PBB, Keputusan Internasional Ada di Tangan Mereka

Dia mengatakan bahwa syarat tersebut gagal karena reaksi dari pencalonannya yang didasarkan pada rasa takut dan permusuhan.

“Ketika saya mencalonkan diri dalam pemilihan, jejak Islamfobia dan politik reaksinoner ada di sana. Ada poster wajah saya di Paris yang bertuliskan 0% Prancis, 100% Islam tertulis di sana. Ketika anda seorang aktivis politik, anda tidak memiliki hak untuk menjadi Muslim, atau bahkan Arab,” kata Kazib, dikutip dari Aljazeera, Senin 4 April 2022.

Deretan Negara Ini Ternyata Tidak Miliki Masjid, Ada Negara Tak Terduga!

Berbeda dengan kandidat lainnya, Kazib tidak diberikan waktu tayang oleh media arus utama untuk berkampanye. Hal ini dia katakan sebagai bukti bahwa pesan politiknya “mengganggu” sistem yang ada.

“Saya pikir mereka takut pada kami, pada apa yang kami wakili, pada ide-ide radikal yang kami bawa dan mencegah pencalonan saya untuk eksis,” ujarnya.

Dia menambahkan bahwa pencalonan dirinya atas nama pemuda, kelas pekerja, dan orang-orang yang tidak merasa terwakili dalam pemilihan ini.

Meskipun dia bangga dengan latar belakangnya sebagai sebagai keturunan imigran, dan menjadi pekerja yang berasal dari kelas pekerja, dia tidak berbasa-basi saat ditanya apakah Muslim cocok dengan masyarakat Prancis.

“Identitas Prancis tidak termasuk komunitas Muslim. Mereka tidak pernah menghormati kami sebagai orang Prancis juga. Mereka yang memutuskan seberapa Prancis kita,” tuturnya.

Menurut Julien Talpin, seorang peneliti ilmu politik di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional (CNRS), mengatakan bahwa masa jabatan Presiden Emmanuel Macron sangat ‘suram’ bagi umat Muslim Prancis. Pada 2021, pemerintahan Macron menerapkan undang-undang separatisme.

Pemerintah Prancis mengklaim bahwa undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memperkuat sistem sekuler Prancis. Namun, para kritikus mengatakan bahwa undang-undang itu secara tidak adil menarget komunitas Muslim dan membatasi kebebasan beragama.

“Kami melihat dengan jelas dalam debat Majelis Nasional bahwa targetnya adalah komunitas Muslim. Ada gagasan bahwa ada masalah besar-besaran separatisme dan komunitarianisme di masyarakat yang harus dilawan oleh Prancis dengan hukum.”

Undang-undang tersebut bermula setelah pembunuhan mengerikan terhadap Samuel Paty, seorang guru yang dipenggal kepalanya oleh seorang pengungsi Muslim berusia 18 tahun. Pembunuhan tersebut bermula dari Paty yang menunjukan kepada murid-muridnya kartun Charlie Hebdo yang menggambarkan Nabi Muhammad.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya