- AP Photo/Chiang Ying-ying
VIVA Dunia – Duduk termenung di bangku gereja Taipei, tentara cadangan Taiwan yakni Henry Cheng acuh tak acuh tentang kapal perang dan jet China yang mengelilingi pulaunya, dia juga merasa tidak siap untuk perang.
Latihan militer besar-besaran China bulan ini mendorong ketegangan di Selat Taiwan ke titik tertinggi dalam beberapa tahun, dan memperdalam kekhawatiran Beijing untuk dapat secara paksa mengambil kendali atas demokrasi pemerintahan sendiri yang diklaimnya sebagai miliknya.
Terjadi setelah invasi Rusia ke Ukraina, krisis tersebut telah menghidupkan kembali perdebatan di Taiwan, dan di antara sekutu-sekutu penting Barat tentang kesiapan militer pulau itu. Tapi Cheng mengatakan bahwa dia tidak peduli.
"Rasanya seperti ‘Oh, mereka melakukannya lagi’," kata agen penjualan asuransi berusia 25 tahun itu, dikutip dari Channel News Asia, Kamis, 25 Agustus 2022.
"Mereka telah berbicara tentang perang sejak saya masih kecil, tetapi masih belum ada satu pun."
Cheng menyelesaikan wajib militernya selama empat bulan pada tahun lalu, dan menempatkannya di jajaran sekitar 2,5 juta tentara cadangan yang dapat dipanggil untuk berperang jika invasi terjadi.
Namun konflik terasa seperti kenyataan yang jauh bagi Cheng, dibandingkan dengan rutinitasnya yang biasa bertemu klien, dan berlatih lagu-lagu pujian Kristen sebagai drummer untuk band gerejanya.
"Saya jelas tidak siap (untuk perang), karena empat bulan (wajib militer) bagi saya seperti pergi bermain," katanya, yang merujuk pada pelatihan militernya.
"Saya mungkin akan mati dengan sangat cepat. Saya akan menghadapinya ketika itu datang."
Wajib militer tidak populer di Taiwan
Seperti diketahui bahwa layanan wajib militer dulu sangat tidak populer di Taiwan, yang pernah menjadi kediktatoran militer yang brutal tetapi sejak itu berubah menjadi demokrasi progresif. Pemerintah Taiwan sebelumnya mengurangi layanan wajib militer dari satu tahun menjadi empat bulan dengan tujuan menciptakan kekuatan sukarelawan.
Tapi gemuruh pedang Beijing telah tumbuh lebih intens di bawah kepemimpinan Presiden China Xi Jinping, pemimpin paling otoriter China dalam satu generasi. Invasi Rusia ke Ukraina juga telah menunjukkan risiko mematikan dari ancaman verbal tetangga otoriter raksasa menjadi nyata.
Akibatnya, pemerintahan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen sedang menjajaki apakah akan mengembalikan wajib militer yang lebih keras atau tidak. Belum jelas kapan keputusan akan dibuat, tetapi jajak pendapat menunjukkan lebih dari tiga perempat publik Taiwan sekarang percaya bahwa masa kerja wajib militer terlalu pendek.
Secara perhitungan, Taiwan tetap kalah senjata secara besar-besaran oleh China, dengan 88.000 pasukan darat dibandingkan dengan China yang memiliki satu juta pasukan militer, menurut perkiraan Pentagon. Namun pulau bergunung-gunung itu tetap menghadirkan tantangan yang berat yang harus dihadapi.
Taipei sendiri telah meningkatkan pelatihan cadangan dan meningkatkan pembelian jet dan rudal anti-kapal. Tetapi para ahli mengatakan bahwa hal itu tidak cukup untuk melawan China.