Wawancara Khusus Menlu Marty Natalegawa

Indonesia Hindari Diplomasi Marah-marah

Sertijab Menlu : Marty Natalegawa
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVAnews - Di bawah pimpinan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, diplomasi Indonesia kini menekankan visi "membuat seribu kawan tanpa ada musuh." Namun, Indonesia tidak mau sahabat-sahabatnya melihat negara ini tidak berprinsip.

Momen Ganjar Pranowo dan Keluarga Laksanakan Salat Idul Fitri di Sleman

"Menurut saya, yang penting kita konsisten dengan prinsip. Dengan kita mengatakan kita punya sahabat, kawan, dekat dengan berbagai negara, bukan berarti kita harus membuat semuanya senang dan tidak ada prinsip," ujar Natalegawa dalam perbincangan dengan VIVAnews di Kantor Kementrian Luar Negeri di kawasan Pejambon, Jakarta, Jumat 11 Juni 2010.

Bagi Natalegawa, salah satu prinsip yang dikedepankan diplomasi Indonesia saat ini adalah berupaya menjadi penengah dan berupaya mengatasi permasalahan saat sahabat-sahabat Indonesia itu saling berkonflik - misalnya antara Thailand dengan Kamboja atau antara Iran dengan negara-negara Barat terkait dengan isu nuklir.

Sikapnya yang netral justru membuat Indonesia, di mata negara-negara yang saling berkonflik, sebagai teman yang bisa dipercaya (trusted confidant). "Maka, dalam banyak masalah internasional atau di kawasan, kita hampir selalu dimintai pandangan," ujar Natalegawa, yang dipercaya sebagai menteri luar negeri sejak 21 Oktober 2009.

Natalegawa juga menegaskan, diplomasi Indonesia tidak sekadar mengutarakan kemarahan atau reaksi yang emosional dalam menyikapi suatu peristiwa. "Mengutuk bukanlah kebijakan. Itu masih emosi yang terlebih dahulu harus dilampiaskan. Maka, kita paparkan langkah lanjutannya," ujar penggemar sepakbola dan joging itu. 

5 Ide Ucapan Lebaran Berbahasa Inggris, Biar Kelihatan Lebih Keren

Sebelum menjadi menteri, Natalegawa dalam lima tahun terakhir menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Inggris (2005-2007) dan PBB (2007-2009). Bagi kalangan media massa, Natalegawa sebelumnya dikenal sebagai juru bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) - yang sejak awal 2010 berganti nama menjadi Kementrian Luar Negeri (Kemlu).

Kepada VIVAnews, menteri berusia 47 tahun ini juga mengungkapkan panjang lebar kelanjutan reformasi di tubuh Kementrian Luar Negeri, perlindungan warga Indonesia di mancanegara, serta isu-isu internasional lainnya.
 

Banyak pihak mendukung reformasi dan benah diri Kemlu - dulu Deplu - yang dirintis pendahulu Anda, Menlu Hassan Wirajuda. Apakah Anda juga menyiapkan pendekatan atau sistem baru dalam meneruskan reformasi di lingkungan Kemlu?

Reformasi atau benah diri di Kemlu ini kan sesuatu yang sifatnya terus berlangsung (on going), tidak akan henti-hentinya proses reformasi dan proses benah diri ini. Bapak Hassan Wirajuda selama beliau menjabat sebagai Menlu (2001-2009) menempatkan ini sebagai salah satu prioritas utama sejak awal. Kami kira baik reformasi di perwakilan maupun di pusat, di Kemlu, dan juga ada kemajuan baru pada BPKRT (Bendaharawan dan Penata Kerumahtanggaan Perwakilan) sudah terlihat manfaatnya, terutama konsep tertib waktu, tertib administrasi, dan tertib fisik, tertib keuangan. Tentu itu semua masih working progress [masih dalam proses].

Oleh karena itu, kami bertekad untuk melanjutkan, bahkan meningkatkan upaya ini. Seperti Anda ketahui, ada masalah-masalah sulit yang kita hadapi, tapi sekarang yang penting bagaimana kita merespon hal-hal itu. Saya rasa dalam Kemlu senantiasa terlihat bahwa dalam menyikapi hal-hal semacam itu sikap kita tegas, yang benar ya benar, yang salah ya salah.

Apakah Anda melihat bahwa perhatian media atau publik terhadap isu tertib keuangan maupun tertib administrasi di lingkungan Kemlu masih dalam batas-batas wajar?

Saya kira iya. Tentu ranahnya lain. Kami di Kemlu tentu mencoba untuk menyelesaikan atau mengatasi masalah-masalah itu sesuai peraturan, dengan prosedur yang berlaku, dengan cara yang problem solving. Tapi di lain pihak, saya ketahui bahwa ada di saat-saat tertentu di mana perhatian media massa cukup intensif.

Tapi yang penting adalah perhatian itu didasarkan pada pemahaman yang baik, pemahaman fakta yang baik, dan terutama pemahaman dan keyakinan bahwa Kemlu sendiri sebenarnya juga mempunya itikad baik untuk menyelesaikan masalah. Insya Allah. Tetapi yang paling penting di sini adalah juga adalah pengembangan atau dikedepankannya meritokrasi.

Saya kira Kemlu, di antara berbagai kementerian, merupakan satu yang terdepan di dalam proses regenerasinya, dalam proses menghormati dan mengedepankan meritokrasi, sehingga bagi yang memiliki kapasitas dan kemampuan akan diberikan tanggung jawab yang lebih dari yang lain.

Di masa Menlu Hassan Wirajuda terjadi perubahan struktur organisasi Kemenlu, dari pendekatan fungsional menjadi pendekatan kewilayahan. Apakah akan ada perubahan atau penambahan struktur Kemlu di bawah kepemimpinan Anda?

Tidak. Hingga saat ini tidak ada penambahan.  Memang di bawah arahan dan instruksi Menlu Hassan, Deplu pada saat itu mengubah tatanannya, yang semula pendekatan fungsional dengan ada pendekatan politik, sosial budaya, penerangan, konsuler, kemudian diubah menjadi regional, per kawasan.

Alasan perubahan adalah struktur dengan pendekatan politik, ekonomi, dan lain-lain yang dulu diterapkan dalam struktur Deplu menyebabkan kepentingan bilateral kita cenderung terkesampingkan.

Oleh karena kita ubah jadi pendekatan regional, sehingga setiap negara, setiap kawasan bisa memperoleh porsi perhatian yang baik, dan pendekatan yang komprehensif, politik, ekonomi, sosial budaya, dan konsuler di setiap negara. Ini sedang berjalan, tapi tentunya kita terus mengadakan pengkajian untuk memastikan [struktur yang ada] masih sesuai dengan hasil yang diharapkan

Tahun ini kita membuka 11 perwakilan baru di berbagai belahan dunia. Saya kita ini juga wujud dari tekad Indonesia untuk betul-betul melaksanakan apa yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu seribu kawan dan tidak ada lawan (a thousand friends and zero enemy), dan itu salah satu wujudnya.

Ke depan, kita coba identifikasi lagi negara-negara mana lagi kita perlu buka perwakilan dan membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara yang karena satu dan dua alasan sampai saat ini kita belum secara resmi buka hubungan diplomatik. Ini bukan karena alasan substansi, hanya karena memang belum dilakukan saja.

Ada 21 negara yang kita belum memiliki hubungan diplomatik dan dalam waktu dekat Insya Allah kalau memang menjadi ketetapan Presiden dan persetujuan dari DPR tentu akan kita lakukan.

Apa inovasi baru dalam pendekatan diplomasi Indonesia di mancanegara?

Prinsip change and continuity, ada kesinambungan dan juga ada perubahan. Kesinambungan dalam arti kita tidak bisa menerapkan segala sesuatu mulai dari nol lagi. Kalau memulai dari nol lagi, maka semua raihan dan capaian yang sudah kita peroleh di masa lalu tidak kita kembangkan.

Jadi kita perlu ada kesinambungan, karena sistem yang bekerja, bukan pribadi. Tapi tentunya pada saat yang sama kita juga perlu mengupayakan perubahan karena peluang dan tantangan juga berubah.

Dunia yang sekarang dengan dunia yang lima tahun lalu atau bahkan dua-tiga tahun lalu sudah berubah sekali, jadi kita harus menyesuaikan dan mengantisipasi perubahan itu dan peluang. Yang pasti kami kira kita sedang dalam posisi strategis, dalam arti kata bagaimana meng-elevate atau mengkonsolidasi satu posisi penting Indonesia bukan hanya sebagai negara yang cukup penting di kawasan, melainkan juga negara yang memiliki perhatian yang sifatnya global.

Anda lihat, apapun permasalahan-permasalahan global yang ada sekarang ini, pasti akan terlihat imprint atau footprint [jejak langkah] Indonesia dalam masalah itu, apakah itu masalah lingkungan hidup, krisis finansial. Pasti ada imprint Indonesia yang khas, terutama Indonesia yang menampilkan dirinya sebagai bagian dari solusi. Kita tidak tertarik untuk menambah permasalahan, kita hanya tertarik untuk menyelesaikan masalah.

Terkait dengan prinsip change and continuity yang tadi Anda utarakan, dunia sedang memasuki perkembangan internet dan teknologi informasi. Jejaring sosial di internet - seperti Facebook dan Twitter - semakin populer di kalangan publik di Indonesia dan mancanegara. Apakah Anda melihat fenomena ini lebih sebagai suatu peluang atau tantangan?

Saya rasa bisa dua-duanya, tantangan dan peluang. Namun merupakan suatu keniscayaan, dalam arti kata ini suatu gejala yang sudah menjadi kenyataan di hadapan kita dan pasti akan semakin intensif lagi, permasalahnya adalah apa implikasinya pada bagaimana kita bekerja.

Mengenai informasi, tandanya kita bekerja di dunia yang paradox of plenty, jadi bukannya kekurangan informasi, yang kita hadapi adalah banyaknya informasi, jadi sekarang adalah bagaimana Kemlu dalam mengambil keputusan mengabsorb berbagai sumber informasi, mana informasi yang betul-betul relevan, dan mana yang tidak.

Dari aspek pembuatan kebijakan saja sudah sangat membawa dampak besar. Selain itu, dalam arti dissemination [penyebaran wacana], menyebarkan kinerjanya harus bersaing dengan banyak informasi-informasi yang sedemikian banyaknya, bagaimana kita bisa memperoleh kepedulian dari khalayak ramai di tengah banyaknya sumber masalah-masalah yang harus ditekuni dan difokuskan, to make ourselves to stand out in a good way. Inilah tantangan bagi kita, bagaimana kita bisa menyebarkan informasi secara baik. Itu baru faktor kuantitas.

Faktor lain adalah faktor kualitasnya, dalam arti kata sekarang semua serba real time. Dengan konsep Facebook, Twitter, itu berarti sesuatu yang terjadi di suatu belahan dunia pada saat yang sama diketahui bahkan bisa dipantau oleh khalayak ramai, semua serba instan.

Sementara kita dalam mengambil keputusan, kita harus sensitif dengan waktu, harus segera, tetapi juga harus ada faktor kehati-hatian. Jadi sekarang waktu untuk mengambil keputusan kita semakin padat.

Padahal sebelum ada internet, kalau ada kejadian di suatu negara, kita bisa laporkan dulu ke Jakarta, bisa makan waktu dua-tiga hari, dan mereka bisa olah dulu pelan-pelan, membuat kebijakan. Semua bisa memakan waktu tiga atau empat hari. 

Sekarang semua serba instan. Saya ingat saat menjadi Dubes RI di Inggris, saya lapor ke Menlu mengenai yang terjadi di depan kantor, ada demonstrasi atau apa, atau ada gejala apa, seperti di London ada ancaman bom. Menlu bilang, ya saya lagi nonton juga di televisi.

Polisi Antisipasi Macet di Jadetabek Karena Mudik Lokal di Hari Lebaran

Jadi lupakan persaingan dalam soal kecepatan, apalagi dengan adanya layanan berita 24 jam seperti VIVAnews yang terus menerus memberi informasi.

Jadi waktu untuk mengambil keputusan semakin padat, tetapi kita tidak boleh gegabah. Karena coba lihat kasus terakhir yang terjadi kemarin, waktu kasus 12 WNI dalam insiden misi Gaza [penyerangan pasukan Israel atas kapal kemanusiaan Mavi Marmara 31 Mei 2010]. Betapa simpang siur informasinya. Ada yang bilang satu meninggal, ada yang bilang diracuni, dan sebagainya.

Saya bilang ke teman-teman, kita jangan public opinion driven [dikendalikan publik opini]. Kita harus tertata, teratur, kita terima informasi atau berita, kita kualifikasi bahwa ini sifatnya harus dikonfirmasi. Tapi tidak bisa kita pegang. Kalau hanya kita pegang tanpa disosialisasikan, nanti ada kevakuman informasi.

Tapi akhirnya berbagai kesimpangsiuran itu satu persatu bisa diklarifikasi setelah menyelidiki faktanya. Jadi Kemlu dalam konteks seperti itu harus bersikap cepat dan juga tetap harus ada kehati-hatian.

Terkait dengan sikap kehati-hatian ini, apakah Anda menerapkan pembatasan tertentu kepada para diplomat Indonesia di mancanegara untuk memanfaatkan laman-laman jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, atau situs lain, dalam menjalankan misi diplomasi di luar negeri ?

Tidak, tiap perwakilan atau otonom bisa menggunakan berbagai media, yang penting jangan sampai di-bottleneck [tersendat]. Setiap perwakilan memiliki otonomi atau kebebasan untuk menetapkan media yang paling efektif, karena memang faktanya sekarang media seperti Facebook, Twitter, sangat efektif.

Kami di Kemlu juga sekarang mencoba untuk lebih sistematis, tapi tanpa bottleneck, tanpa membatasi jangan sampai menjadi terlalu lamban.


Mengenai perlindungan WNI di luar negeri, bagaimana kelanjutan program citizen service yang sudah mulai dipopulerkan pada 2007? Sudah berapa kantor perwakilan [KBRI] yang menerapkan citizen service ini, dan bagaimana keefektifannya?

Dalam tiga tahun terakhir sudah 24 perwakilan yang membuka layanan citizen service dalam tiga tahun terakhir. Yang terakhir pada tahun 2009 ada di Penang, Kuching [Malaysia], Darwin, Sydney, Perth [Australia], Tokyo, Osaka [Jepang], Los Angeles dan New York [AS]. Ciri khas citizen service adalah pendekatan yang sifatnya lebih integrated, sehingga pelayanan warga diberikan dengan lebih ramah, lebih cepat, dan dipermudah, jadi jangan mempersulit.

Berdasarkan pengalaman selama ini, pendekatan yang kohesif dan terintegrated dari citizen service itu sangat positif. Saya kira masyarakat juga bisa melihat manfaatnya.

Oleh karena itu, kita mencoba untuk memperluasnya ke perwakilan-perwakilan yang lain. Ada juga perwakilan yang tidak secara formal memiliki program citizen service. Namun, bukan berarti mereka tidak melakukan kegiatan itu karena ini bagian dari tugas-tugas pelayanan masyarakat untuk kekonsuleran, dan beberapa perwakilan kita telah memperoleh penghargaan mengenai citizen service dari pemerintah - yaitu kantor perwakilan di Kuala Lumpur, Singapura, dan Hong Kong.

Bagaimana dengan WNI yang ingin lapor diri atau mengalami masalah tapi dia bekerja atau berada di negara yang tidak ada kantor perwakilan Indonesia?

Itu dia, masalah ini berhubungan dengan isu teknologi yang tadi kita bahas. Saya ingat waktu saya bertugas di London. Dulu, kita harus bawa paspor untuk lapor ke KBRI. Kini, kita lakukan pendekatan "jemput bola," yaitu mengunjungi tempat-tempat yang banyak dihuni WNI atau pelajar Indonesia. KBRI yang datang ke tempat-tempat itu, di mana dilakukan pendaftaran, jasa-jasa kekonsuleran, perpanjangan visa, akte lahir, dan lain-lain.

Kami buka klinik, konsuler klinik. Bahkan saya ingat KBRI London melakukan pendekatan itu ke Irlandia, berhubung negara itu tidak ada perwakilan Indonesia.

Kini, kami juga tengah memanfaatkan Teknologi Informasi. Contohnya, ada seseorang yang keluar negeri, mungkin dia tinggalnya jauh dari KBRI atau berada di sana dalam waktu yang tidak cukup lama, mungkin hanya dua minggu tiga minggu untuk suatu program pelatihan, misalnya.

Di benak kami, warga yang bersangkutan bisa lapor secara online ke KBRI dalam bentuk suatu template yang baku. Paling tidak dia memberi informasi dasar, nama, tempat tinggal, nomor paspor, tinggal di mana, nomor kontak, keluarga di mana. Bukan sebagai pengganti resminya, tetapi sementara menunggu yang resmi atau untuk yang jangka kunjungannya pendek.

Saya kira ini bisa dimasukkan di laman Kemlu atau di laman kantor perwakilan. Yang penting informasi harus secure [aman] sehingga tidak bisa disalahgunakan datanya.


Dalam berdiplomasi, Indonesia mengacu pada visi "Thousand Friends, Zero Enemy." Namun beberapa negara sahabat kita tengah saling berkonflik, seperti yang terjadi antara Iran dengan negara-negara Barat maupun antara Thailand dan Kamboja dalam konflik perbatasan. Apakah Anda sering mengalami posisi yang dilematis saat berhadapan dengan sahabat-sahabat Indonesia yang tengah saling bertikai ketika menghadiri forum internasional?

Menurut saya, yang penting kita konsisten dengan prinsip. Dengan kita mengatakan kita punya sahabat, kawan, dekat dengan berbagai negara, bukan berarti kita harus membuat semuanya senang, we're not in the bussines of making everyone happy, dan tidak ada prinsip.

Justru prinsip kita kan mengetengahkan persoalannya apa dan kita mencoba menengahi teman-teman, sahabat-sahabat Indonesia supaya mereka bisa mengatasi permasalahan - misalnya antara Thailand dengan Kamboja, antara Iran dengan negara-negara Barat, dan lain-lain.

Jadi, saya kira bagi negara seperti Indonesia - yang memiliki banyak jati diri yang sangat multifaceted [beraneka segi], negara demokrasi, negara berkembang, negara dengan umat Muslim terbanyak - kita memainkan peranan seperti itu dengan baik. Saya berkeyakinan dalam politik luar negeri, Indonesia masih banyak peluang yang bisa kita capai. karena all systems go, masih banyak yang bisa kita capai di berbagai bidang.

Apakah Indonesia berkeinginan menjadi peacemaker untuk mendamaikan sahabat-sahabatnya yang saling bertikai?

Itu proses. Ini satu hal yang ingin saya tekankan juga. Dalam diplomasi itu ada yang sifatnya statecraft [terampil sebagai negarawan], ada pula stagecraft [terampil sebagai pemain sandiwara].

Ada permasalahan yang diselesaikan yang tidak secara terbuka. Dalam persoalan-persoalan ini, kalau berhasil mencegah sesuatu itu terjadi, itu tidak ketahuan keberhasilannya karena kita mencegah atau menghindari terjadinya sesuatu yang buruk.

Mungkin orang tidak bisa memahami bahwa, misalnya, masalah antara Thailand dengan Kamboja akhirnya keadaan mereda. Itu kan bukan terjadi dengan sendirinya, pasti dengan upaya.

Tapi sementara kita melakukan itu, tidak perlu kita gembar-gemborkan [ke publik] karena akan ada pihak-pihak yang merasa tidak nyaman [uncomfortable]. Tapi yang penting kita sudah berbuat.

Maka, bila berbicara mengenai penyelesaian konflik [conflict resolution], harus kita lakukan dengan penuh kehati-hatian. Saya kira inilah yang membuat kita dianggap sebagai trusted confidant, menjadi teman yang terpercaya. Maka, dalam banyak masalah internasional atau di kawasan, kita hampir selalu dimintai pandangan.

Misalnya, dalam suatu konflik, kita berhak menyampaikan pandangan. Dalam berbagai masalah, kita dimintai konsultasi. Ini memang bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, tetapi harus diraih. Dan kita meraihnya sebagai negara yang bertanggung jawab, yang bukan asal bunyi, marah dengan dunia dan semua dianggap tidak benar.

Sekarang kita harus lebih cerdas dan lebih pandai untuk menempatkan diri kita di dunia. Untuk bisa berpengaruh, tidak usah selalu selalu marah pada dunia -  dunia pasti tidak adil, banyak ketidakadilan, dan sebagainya - tetapi bagaimana kita menempatkan diri kita dalam konteks itu.


Dalam pertemuan darurat Organisasi Konfrensi Islam (OKI) di Arab Saudi pekan lalu [6 Juni 2010], Anda menyerukan kepada masyarakat internasional, terutama kepada sesama anggota OKI, agar ada suatu tindakan nyata dan bukan sekadar mengecam atas Israel terkait insiden kapal kemanusiaan Marmara. Bagaimana sambutan delegasi negara-negara sahabat atas seruan Anda itu?

Saya rasa mereka menganggap itu sebagai sesuatu yang lugas. Saya rasa negara-negara lain juga menanggap bahwa negara tertentu seperti OKI itu banyak pernyataan tapi komitmennya bagaimana?

Nah itu yang saya coba serukan. Condemnation is not policy, mengutuk bukanlah kebijakan. Itu masih emosi yang terlebih dahulu harus dilampiaskan. Setelah itu semua diungkapkan, lalu apa langkah berikut?

Maka, kita paparkan langkah lanjutannya. Kalau mengenai masalah insiden Mavi Marmara, pertama kami menyerukan kepada Israel agar semua aktivis harus dibebaskan. Itu sudah dilakukan. Selain itu kita menyeruskan adanya penyelidikan atas insiden itu. Ini sudah mulai ditindaklanjuti walau masih ada polemik, apakah OKI akan tampil dengan konsepnya atau ada yang lain.

Saya juga sempat ditanya apakah Indonesia mendukung investigasi internasional atau nasional [dilakukan oleh Israel sendiri, tanpa libatkan pihak lain]. Saya hanya bilang, yang penting kredibel, transparan, terbuka, dan dipercaya secara internasional.

Saya tidak terlalu ingin [penyelidikan] itu harus nasional atau internasional karena kita juga pernah punya pengalaman mengenai masalah-masalah seperti ini. Maka yang penting penyelidikan bersifat kredibel, dan bukan masalah nasional internasionalnya, dan perlu adanya upaya menghentikan tindakan semena-mena lebih lanjut dari Israel, dan juga mewujudkan rekonsiliasi di negara Palestina itu sendiri.

Isu mengenai Palestina selalu menggugah bangsa kita. Kabarnya ketua DPR dan para wakil rakyat lainnya ingin berkunjung ke Gaza untuk misi menyampaikan bantuan kemanusiaan. Apakah itu dimungkinkan, mengingat insiden Mavi Marmara belum lama terjadi?

Pertama, yang harus kita garis bawahi mengenai masalah Palestina, kita harus betul-betul bergerak sebagai suatu kesatuan. Untuk masalah politik luar negeri kita harus punya kesamaan sikap, pandangan, apalagi mengenai masalah Palestina.

Saya melihat seluruh komponen bangsa sama-sama mendukung kebebasan Palestina. Jadi, kita jangan merasa yang satu bergerak mendahului yang lain, karena kita bergerak sama, motivasinya sama.

Oleh karena itu, Kemlu bertekad bersinergi dengan berbagai komponen apakah itu masyarakat madani, apalagi dari DPR. Jadi, kita sangat siap dan sangat mendukung, dan ingin bekerja sama membantu demi suksesnya misi ini.

Terkait dengan misi itu, pemerintah Mesir sudah membuka perbatasan Rafah [yang menjadi pintu masuk ke Gaza]. Untuk bisa ke Rafah kita harus, pertama, memprosesnya melalui state security [keamanan negara], harus melalui pengantar atau melalui kedutaan kita di Kairo, Mesir. Jadi, perlu data mereka yang ingin berkunjung. Ini tinggal masalah tekns saja.

Yang penting, bila ingin pergi ke Gaza harus menyerahkan data secara utuh dan lengkap - misalnya nama, nomor paspor, kemudian diproses maksud tujuan kunjungan dan lain-lain. Kalau itu dipenuhi sesuai permintaan pemerintah Mesir, saya kira pasti bisa difasilitasi.

Hingga saat ini, yang saya dengar, belum ada KBRI kita di Kairo, termasuk di Kemlu, belum menerima data mereka. Nama, nomor paspor, tiba tanggal berapa, Data seperti ini kan perlu. Kalau mau ke Gaza silakan, mana datanya, supaya kita bisa proses.

Apakah pemerintah Mesir tidak berkeberatan dengan niat para wakil rakyat kita ke Gaza melalui wilayah mereka?

Tidak, yang penting harus mengikuti prosedur mereka. Jadi pendek kata, ini kita dukung. Ini adalah sinergi pemerintah, DPR, dan masyarakat madani.

Termasuk tidak menutup kemungkinan para aktivis untuk kembali berkiprah dalam misi ke Gaza?

Yang penting kita memetik pengalaman dari apa yang terjadi selama ini [Dalam insiden penyerangan Israel atas kapal Mavi Marmara 31 Mei 2010, 12 relawan asal Indonesia sempat ditahan. Dua diantara mereka terluka].

Dalam beberapa hari pertama, kita sempat tersita sedikit waktu untuk memastikan siapa yang berada di sana, keluarganya di mana.

Tanpa berniat ingin membatasi, paling tidak kalau kita tahu siapa yang akan pergi, kapan, kalau ada apa-apa siapa yang dihubungi. Saya kira ini wajarlah untuk bisa memastikan perlindungan itu dapat diberikan secara optimal.

Presiden Barack Obama sudah dua kali menunda kedatangan ke Indonesia. Terakhir, presiden AS ini menunda kunjungan yang direncanakan pada pertengahan Juni 2010. Apakah Anda menerima tanggapan atau ungkapan kekecewaan dari publik atas  penundaan ini?

Tentu kita mengamati tanggapan-tanggapan dari berbagai pihak, tetapi saya kira salah satu ciri dari berbagai tanggapan itu adalah pada umumnya mereka bisa memahami adanya penundaan.

[Pertama, Obama menunda kunjungan Maret lalu karena saat itu memperjuangkan undang-undang reformasi kesehatan. Kemudian, baru-baru ini terjadi bencana bocornya sumur minyak di perairan selatan AS sehingga menyita perhatian Obama sehingga membuat dia lagi-lagi menunda kunjungan ke Indonesia, dan juga ke Australia]

Sekarang, masyarakat Indonesia - baik tokoh-tokoh masyarakat maupun kalangan awam - sudah cukup matang, sudah cukup rasional dalam menyikapi hal ini, jadi tidak lantas menjadi gusar.

[Bencana bocornya sumur minyak] ini kan sesuatu yang tidak bisa diantisipasi, tapi ini kenyataan. Tapi kita akan sambut kedatangan Presiden Obama ke Indonesia pada waktunya dengan baik, tapi tidak akan memaksakan kehendak.

Apakah dengan penundaan ini, bisa menjadi kesempatan untuk menyelesaikan kesepakatan-kesepakatan bilateral yang masih dibahas antara Indonesia dan Amerika Serikat?

Ya, tentunya. Rencana kunjungan beliau ke Jakarta akan menjadi salah satu momen penting sebagai wujud dari kedekatan hubungan Indonesia-Amerika Serikat.

Tapi pada saat yang sama sebenarnya persoalan Nota Kesepahaman (MoU), masalah Perjanjian Kemitraan Komprehensif kan sudah berjalan selama ini, jadi tidak akan terhambat atau tertunda hanya karena kunjungan Presiden Obama belum terlaksana. Yang pasti, hubungan Indonesia dan Amerika Serikat saat ini semakin erat, semakin bersahabat.

Jadi pendek kata, penundaan kunjungan Obama ini tidak mengganggu proses itu, tapi tentu adanya waktu itu yang memberi kita kesempatan lagi untuk terus mematangkan berbagai persiapan-persiapan itu dengan baik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya