Wawancara Dubes Iran, Mahmoud Farazandeh

Revolusi Islam Iran Berdampak Luar Biasa

Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mahmoud Farazandeh
Sumber :
  • VIVAnews / Renne Kawilarang

VIVAnews - Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mahmoud Farazandeh, mengungkapkan bahwa setiap tanggal 1-11 Februari merupakan periode yang istimewa bagi rakyat di negaranya. 

Rektor UNU Gorontalo Resmi Dilaporkan Polisi atas Kasus Dugaan Pelecehan Seksual

Selama periode itulah, pada 1979, Iran mengalami pergolakan. Kekuasaan monarki Syah Reza Pahlavi, yang sewenang-wenang, berhasil ditumbangkan rakyat. Kehadiran kembali Imam Agung Ayatullah Khomeini dari pengasingan menjadi simbol kemenangan rakyat Iran atas rezim monarki otoriter. 

"Kami menyebut peristiwa itu sebagai Kemenangan Revolusi Islam Iran," kata Farazandeh saat menyambut kunjungan VIVAnews, Selasa 8 Februari 2011.

5 Fakta Mengerikan Timnas Indonesia Usai Singkirkan Korea Selatan di Piala Asia U-23

Berbicara di kantornya di Jakarta, Farazandeh menjelaskan makna Revolusi Islam Iran 1979. Kendati dimusuhi negara-negara Barat, Iran justru kian percaya diri untuk membangun negeri secara mandiri. Berbagai sanksi dan embargo bahkan telah membuat Iran tidak lagi bergantung kepada pihak asing.

Menariknya, 32 tahun kemudian, rakyat sejumlah negara Arab, seperti Tunisia, Mesir, dan Yaman, kini mengalami pergolakan atas rezim yang telah lama berkuasa di negeri masing-masing 

Terpopuler: Harga Bekas dan Pajak Tahunan Avanza Veloz, 2 Mobil Keren Mazda di China

Farazandeh tidak khawatir bahwa krisis di negara-negara Arab itu bisa berdampak bagi Iran, Sebaliknya, muncul kekhawatiran yang lebih besar bahwa negara-negara yang tengah bergejolak itu akan mengalami perubahan seperti yang terjadi di Iran 32 tahun lalu.

"Bila demikian, rakyat di negara-negara yang bergolak itu melihat Iran sebagai model," kata Farazandeh. 

Berikut petikan wawancara dengan Farazandeh, yang baru lima bulan bertugas sebagai duta besar Iran untuk Indonesia.


Setiap tanggal 1 hingga 11 Februari, rakyat Iran merayakan Kemenangan Revolusi Islam di negara mereka. Bagaimana rakyat di negara Anda memaknai peristiwa bersejarah itu?

Periode ini disebut sebagai hari-hari "Fajar Menyingsing." Setelah gelap, muncullah fajar untuk menyambut datangnya matahari. Mendiang Imam Besar Ayatullah Khomeini datang ke Iran [dari pengasingan] pada 1 Februari 1979. Rakyat Iran menyambut kedatangannya sebagai berakhirnya gelap dan munculnya terang.

Maka, sepuluh hari berikutnya dilanjutkan dengan perjuangan memberantas sisa-sisa rezim lama [era kekuasaan monarki Syah Reza Pahlavi] sekaligus memberlakukan sistem pemerintahan yang baru. Perayaan hari-hari bersejarah itu dilakukan dengan berbagai cara.   

Revolusi Islam merupakan revolusi kultural dan bersinggungan dengan nilai-nilai budaya. Oleh sebab itu Iran menggelar sejumlah acara terkait dengan perayaan kemenangan Revolusi Islam di negara kami, seperti festival seni, pameran buku, dan pertunjukan budaya lainnya.

Pada hari puncak, 11 Februari, rakyat di berbagai kota melakukan pawai di jalan-jalan utama, untuk mengenang gelombang demonstrasi pada 1979. Selain bergerak sepanjang tiga hingga lima kilometer, mereka biasanya membacakan komunike bersama, yaitu sumpah setia kepada negara dan nilai-nilai Revolusi.

Di Ibukota Tehran, Presiden akan berpidato di tengah-tengah rakyat yang berpawai. Biasanya pawai berlangsung mulai pukul sembilan pagi hingga dua belas siang [menjelang salad zuhur]. Kesempatan pawai itu dimanfaatkan presiden untuk berpidato mengenai isu ekonomi, politik, dan hubungan internasional.

Bagaimana dengan komunitas Iran di luar negeri, seperti di Indonesia. Apakah juga ada perayaan khusus?

Di Jakarta, kami bersama komunitas Iran akan merayakan Kemenangan Revolusi Islam pada Jumat, 11 Februari, di suatu hotel. Kami juga mengundang para pejabat dan warga Indonesia untuk ikut serta.

Sebenarnya tidak banyak warga Iran yang berdomisili di Jakarta [Atase Pers Kedubes Iran, Ghasem Yazdani, sebelumnya menyebut bahwa komunitas Iran di Indonesia hanya berkisar ratusan orang, sedangkan di Malaysia bisa berjumlah ribuan - Redaksi].

Untuk itulah kami terus meningkatkan kerjasama ekonomi dan wisata dengan pemerintah Indonesia agar lebih banyak lagi warga Iran untuk berkunjung ke sini dan, begitu juga sebaliknya, kami ingin agar makin banyak orang Indonesia berkunjung ke Iran.  

Apa tantangan domestik terbesar yang dihadapi Iran saat ini?

Tantangan utama saat ini adalah bagaimana menerapkan reformasi ekonomi yang telah dirancang pemerintah. Salah satu program reformasi itu adalah memangkas subsidi untuk segala komoditas.

Ini adalah salah satu komitmen dari Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Selain tetap mewujudkan keadilan sosial, pemerintah kini berpikir bagaimana distribusi subsidi harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran negara dan diterapkan ke berbagai tingkat masyarakat.

Masyarakat di Iran terbagi dalam beberapa tingkat, baik berdasarkan penghasilan maupun jumlah anggota keluarga. Ada suatu keluarga yang punya lima mobil, namun ada juga keluarga yang tidak punya kendaraan sama sekali.

Keluarga yang punya lima mobil ini sama-sama menikmati harga bensin bersubsidi. Situasi ini harus dibenahi. Maka, pemerintah mengurangi subsidi harga atas sejumlah komoditas yang hasilnya akan digunakan untuk memberi kompensasi kepada keluarga-keluarga yang kurang mampu. Ini merupakan program pemerintah untuk perbaikan kesejahteraan sosial.

Dalam beberapa tahun terakhir, Iran berkali-kali menerima embargo ekonomi dan perdagangan dari Dewan Keamanan PBB dan negara-negara Barat terkait dengan kepemilikan teknologi nuklir. Bagaimana Iran bisa bertahan dari sanksi-sanksi itu?

Sebenarnya kami sudah mengalami berbagai sanksi selama 32 tahun terakhir. Mulai dari awal Revolusi, sejak Iran menerapkan sistem pemerintahan baru yang diakui di seluruh dunia, sejumlah negara tidak senang dengan situasi itu.

Contohnya, beberapa negara Eropa yang pada awalnya sudah berkomitmen untuk menjalankan sejumlah proyek di Iran. Mereka sudah terima uangnya, namun menelantarkan proyek-proyek sosial dan industri dan meninggalkan begitu saja negara kami.

Salah satu proyek adalah fasilitas pembangkit listrik di Busherh. Saat itu [1975], para kontraktor asal Jerman telah menerima uang untuk membangunnya.

Perangkat-perangkat khusus dibangun di Jerman. Namun, sejak Revolusi Islam Iran [1979], mereka tidak membawa perangkat-perangkat itu dan menghentikan kelanjutan proyek yang seharusnya berguna bagi pembangunan Iran. Padahal proyek pembangkit listrik ini telah memakan biaya yang besar.

Lalu negara-negara Barat menerapkan sejumlah embargo dan sanksi kepada Iran. Situasi ini memaksa Iran untuk mengurangi ketergantungan kepada pihak-pihak asing.

Namun kondisi itu justru membuat Iran menjadi mandiri dan tidak bergantung kepada pihak luar. Iran menjadi percaya diri dalam membangun berdasarkan kemampuan diri sendiri. Maka penerapan sanksi dan embargo sudah kehilangan makna. 

Selain itu pihak-pihak asing tidak bisa lagi mempermainkan kami melalui investasi langsung maupun melalui perdagangan bilateral, seperti yang terjadi pada krisis keuangan yang menimpa Indonesia di akhir dekade 1990-an.

Dalam sekejap, ratusan jutaan dolar bisa lenyap akibat ulah para investor asing yang ingin mengguncang pasar saham Indonesia. Iran tidak mengalami kerentanan demikian. Kami pada dasarnya lebih banyak bersandar pada sumber daya dan kemampuan milik kami sendiri.

Negara-negara Barat kemudian berupaya memasung kami dengan memblokade perdagangan minyak dan gas dan perangkat maupun bahan yang bisa digunakan untuk mengembangkan teknologi nuklir di Iran, yang sebenarnya digunakan untuk kepentingan damai.

Namun, rakyat Iran sudah terbiasa menghadapi berbagai tekanan, bahkan terus berkembang. Justru ada kekhawatiran di antara pihak-pihak Barat bahwa sejumlah negara di belahan dunia ini yang menjadikan Iran sebagai model untuk diteladani. Lalu mengapa harus takut bila ada yang menjadikan Iran sebagai model pembangunan.

Sejumlah negara Arab, seperti Tunisia, Mesir, dan Yaman, tengah bergejolak. Apakah Iran khawatir bakal terkena dampak dari revolusi di negara-negara itu?

Bila menyimak dari sejumlah pemberitaan, termasuk dari koran ini [Dia menunjukkan sebuah koran internasional berbahasa Inggris], tampaknya muncul kekhawatiran yang lebih besar bahwa negara-negara yang tengah bergejolak itu akan menerapkan sistem ala Iran, jadi bukan membawa dampak bagi Iran.

Jadi muncul opini bahwa seolah-olah Iran mengambil keuntungan dari pergolakan-pergolakan itu. Bila demikian, rakyat di negara-negara yang bergolak itu melihat Iran sebagai model. Maka, kekhawatiran bahwa krisis di negara-negara itu membawa dampak bagi Iran itu tidak beralasan.

Apakah Iran melihat pergolakan di negara-negara kian mengganggu stabilitas di Timur Tengah?

Kami percaya bahwa setiap upaya campur tangan negara adidaya memiliki dampak yang negatif dan merugikan bagi negara-negara yang tengah bergolak itu. Prinsip Iran adalah berusahalah untuk independen secara mandiri. Maka kami berharap rakyat di negara-negara yang bergolak untuk tidak terpengaruh campur tangan asing dalam menentukan masa depan negeri mereka.

Di sisi lain, ada sejumlah pihak yang ingin terus berkuasa selama mungkin di Timur Tengah sehingga timbul pergolakan. Namun, di saat makin majunya teknologi informasi, banyak orang kini menjadi kritis atas perkembangan di sekitar mereka.

Jadi bila ada pihak-pihak yang mengambil tindakan kepada rezim tertentu, maka rakyat di negara yang bersangkutan akan menentangnya. Seperti pergolakan di Mesir, misalnya. Biarkan rakyat Mesir sendiri yang menentukan, apakah rezim sekarang harus mundur cepat atau lambat.

Kita punya masalah serius di Timur Tengah. Salah satunya adalah masalah pendudukan atas Palestina oleh pasukan penjajah dan mereka yang menyebut diri sebagai Kekuatan Dunia berupaya ikut campur. Banyak negara pada dasarnya tidak senang dengan situasi itu.

Enam puluh tahun lebih Palestina dijajah, namun hingga kini tidak membawa perubahan yang berarti bagi rakyatnya. Semua upaya perundingan dan perjanjian damai tidak menghasilkan apapun.

Saat ini muncul pertimbangan dari kekuatan tertentu agar pergolakan di negara-negara itu tidak sampai mengganggu keamanan Israel. Ini tidak bisa dimengerti bila pergantian rezim harus mengacu pada kepentingan satu negara di kawasan itu.  

Mengenai hubungan bilateral antara Iran dan Indonesia, program-program apa yang akan dikerjakan kedua pemerintah tahun ini?

Ada beberapa proyek kemitraan yang akan dibicarakan tahun ini. Salah satunya adalah proyek investasi patungan di Iran dan satunya lagi di Indonesia. Kerjasama itu menyangkut pengolahan minyak dan gas serta petrokimia. Namun, ada beberapa hal teknis yang perlu dibicarakan antara kedua pemerintah.

Bagaimana dengan volume perdagangan kedua negara?

Nilainya tahun lalu sekitar US$1 miliar dan komposisinya berimbang, baik itu ekspor dan impor. Namun untuk meningkatkan volume perdagangan, kita harus melibatkan lebih banyak lagi sektor swasta. Biasanya orientasi pihak swasta masih ke negara-negara Barat, maka kita perlu mengubah fokus menjadi proyek sesama negara Timur. Namun, itu perlu waktu dan bertahap.

Pekan depan akan ada misi dagang dari Iran ke Indonesia untuk menjajaki kontak bisnis yang baru. Insya Allah tahun ini juga diupayakan kunjungan antarpejabat dari kedua pemerintah. (adi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya