- AP Photo
VIVAnews - Kalangan petinggi intelijen Amerika Serikat (AS) menolak mengakui adanya kesalahan dalam menilai krisis politik di Mesir. Menurut sejumlah laporan intelijen, Presiden Hosni Mubarak diperkirakan segera mundur pada Kamis malam waktu Mesir. Nyatanya, laporan itu tidak akurat setelah Mubarak sendiri dalam pidatonya menyatakan tidak akan mundur hingga September mendatang.
Menurut harian USA Today, Direktur Lembaga Intelijen Nasional, James Clapper, menyatakan bahwa jajaran intelijen AS telah bekerja sebaik mungkin dalam membaca ketidakstabilan di Mesir. Menurut Clapper, gelombang demonstrasi massa anti Mubarak kian kuat sehingga terjadi "gempa politik" di Negeri Piramid itu.
"Kita tahu di mana garis-garis patahannya, namun berupaya memprediksi kapan gempa terjadi itu malah sulit" kata Clapper dalam rapat dengan Komisi DPR bidang Intelijen di Kongres, Kamis 10 Februari 2011 waktu setempat.
"Kami sudah melakukan pelaporan sebaik mungkin atas situasi yang berbahaya dan bergerak cepat ini. [Namun] kami bukan ahli tenung," kata Clapper seperti dikutip USA Today.
Sedangkan Direktur Badan Intelijen CIA, Leon Panetta, mengakui bahwa pihaknya belum bisa memastikan bahwa Presiden Mesir, Hosni Mubarak, segera mundur. Padahal, dalam rapat dengan sejumlah anggota parlemen AS itu, Panetta sudah memproyeksikan bahwa Mubarak segera mundur.
"Ada kecenderungan kuat bahwa dia mungkin mundur malam ini [Kamis malam]," kata Panetta dalam rapat di Kongres seperti dikutip laman Politico. Pernyataan Panetta itu terlanjur menyebar ke berbagai media massa internasional sebelum dia akhirnya menyatakan bahwa CIA belum bisa memastikan pengunduran diri Mubarak secepatnya.
Nyatanya, beberapa jam kemudian, Mubarak menyatakan tidak mundur. Dia hanya menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada Wakil Presiden Omar Suleiman. Pemimpin yang telah 30 tahun berkuasa itu menegaskan tidak akan tunduk pada campur tangan asing.