- AP Photo/Hasan Jamali
VIVAnews - Raja Bahrain mencanangkan keadaan darurat di negaranya untuk mengatasi gelombang unjuk rasa anti pemerintah sejak Februari lalu. Sebelumnya, pemerintah Bahrain telah menerima bantuan pasukan keamanan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang berada di bawah mandat Dewan Kerjasama Teluk (GCC).
Menurut stasiun berita Al Jazeera, pengumuman keadaan darurat itu dikeluarkan Selasa waktu setempat. Keadaan darurat di Bahrain diberlakukan selama tiga bulan.
Dengan pemberlakukan status itu, raja memberi mandat kepada militer Bahrain untuk melakukan "semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi keamanan negara dan rakyatnya."
Sampai Selasa kemarin, belum tampak kehadiran pasukan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab di Ibukota Manama, yang menjadi pusat pergolakan. Namun bentrokan antara para pemrotes dan pasukan keamanan terus berlangsung.
Menurut koresponden Al Jazeera, bentrokan Selasa kemarin menewaskan sedikitnya dua orang di Sitra, pinggir Ibukota Manama. Seorang pemrotes di Manama, Abdullah Al Hubaaishi, mengatakan bahwa ada banyak pemrotes yang terluka di Sitra.
Arab Saudi mengirim sekitar seribu tentara ke Bahrain dan Uni Emirat Arab mengerahkan 500 polisi. Kehadiran militer Saudi dan polisi Emirat ini di bawah mandat GCC, yang beranggotakan enam negara Arab di Teluk Persia. Sebagai anggota, Bahrain meminta bantuan GCC untuk mengatasi gejolak di negara itu
Sejak Februari lalu, mereka protes di pusat kota, Bundaran Mutiara, karena tidak tahan dengan politik diskriminatif dari monarki sehingga terjadi kesenjangan sosial. Isu ini sudah menyangkut konflik golongan, karena keluarga kerajaan dan pejabat pemerintah merupakan Muslim Sunni, sedangkan mayoritas rakyat Bahrain adalah penganut Syiah.