Pengungsi Anak Suriah di Lebanon Terpaksa Jadi Buruh

Serangan Gas Kimia
Sumber :
  • REUTERS/Ammar Abdullah
VIVAnews
Viral Mobil Sedan Terbang dan Masuk Garasi Rumah Komplek Elite
- Miris melihat nasib pengungsi anak Suriah yang kini berada di Lebanon. Demi bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, anak-anak ini terpaksa bekerja dan terancam putus sekolah.

18 Killed in Oman Over Heavy Rains and Flash Floods Lash UAE

Kantor berita
Penemu Partikel Tuhan Meninggal Dunia
Reuters , Jumat 20 September 2013 melansir anak-anak ini terpaksa banting tulang, karena kebanyakan ayah mereka tewas terbunuh dalam konflik perang sipil di Suriah atau memutuskan untuk tetap berada di sana.

Informasi ini diperoleh dari Direktur Regional PBB yang menangani masalah anak-anak, UNICEF untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, Maria Calivis. Dalam sebuah wawancara, Calivis menyebut dari 400 ribu pengungsi anak yang terdaftar, hanya seperempatnya yang masih sekolah.


"Kebanyakan anak-anak ini berasal dari keluarga miskin setelah mengalami perang sipil selama hampir 2,5 tahun. Agar bisa melanjutkan hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka terpaksa ikut banting tulang," kata Calivis.


Sekolah di mana mereka menuntut ilmu pun berada di tenda pengungsi. Mereka terpaksa belajar di kelas non permanen dan dengan peralatan seadanya.


Menurut data yang dipegang Calivis, banyak anak dan perempuan bekerja di peternakan. Sementara UNICEF juga meyakini mereka turut bekerja di pabrik. Namun masalah ini, kata Calivis masih terus diselidiki.


Maka jangan heran, kata Calivis, apabila di kota Beirut terlihat banyak anak menjadi pedagang kaki lima yang menjual makanan, mainan atau bunga.


"Itu sudah jadi pemandangan umum di kota Beirut. Kata anak-anak itu, mereka memperoleh uang tambahan hanya sedikit yaitu sekitar US$2,5 (Rp29 ribu) hingga US$5 (Rp58 ribu)," imbuh dia.


Situasi itu diperparah dengan keadaan tenda bagi pengungsi di Lebanon. Pasalnya Pemerintah Lebanon melarang untuk mendirikan tenda permanen bagi pengungsi.


Hal itu lantaran sebagian dari mereka merasa segan kondisi krisis pengungsi di Lebanon terlihat jelas. Selain itu mereka juga waspada kemah pengungsi itu akan disusupi tentara militan. Pasalnya peristiwa serupa pernah terjadi saat Pemerintah Lebanon menampung pengungsi Palestina saat terjadi perang sipil tahun 1975 hingga 1990.


"Kami tidak boleh mendirikan tenda permanen. Setiap malam, kami harus membongkar tenda itu dan keesokan paginya tenda itu kami dirikan lagi. Bayangkan, kami melakukannya selama 365 hari bagi sekitar 300 ribu pengungsi anak-anak," ujar Calivis.  


Kini UNICEF dan mitranya sedang berusaha untuk menginformasikan risiko eksploitasi dan tindak kekerasan terhadap anak yang mungkin terjadi di tempat mereka kerja. Sosialisasi itu dilakukan UNICEF kepada masing-masing keluarga.


Calivis dan rekan-rekannya akan berusaha bernegosiasi kepada orang yang mempekerjakan anak-anak itu, agar memberi mereka waktu lowong di siang hari untuk belajar.


Selain bidang pendidikan, sanitasi turut menjadi prioritas UNICEF. Sejauh ini proyek sanitasi baru memperoleh dana separuhnya. Padahal mereka bertekad harus dapat menggalang dana senilai US$80 juta atau Rp907 miliar di akhir tahun 2013 nanti.


"Ketika kami berkunjung ke beberapa tempat di Suriah, kami sering melihat para orang tua menggandeng tangan anak-anak mereka dan menemani  untuk berangkat ke sekolah terdekat. Betapa pentingnya pendidikan bagi anak, karena itulah paspor mereka di saat semua hal yang mereka pernah miliki telah lenyap," kata Calivis.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya