Gangguan Jiwa, Derita Warga Palestina di Tengah Konflik

Ashraf dan Jamal, anak Palestina yang disiksa tentara Israel
Sumber :
  • MSF/Lali Cambra
VIVAnews -
Judi Slot Higgs Domino dan Royal Dream Dibongkar Polisi, Omzetnya hingga Rp 30 Miliar
Kekejaman tentara Israel terhadap warga Palestina meninggalkan bekas luka, baik fisik maupun mental. Tidak jarang, warga Palestina yang mengalami kekerasan oleh tentara zionis mengalami gangguan jiwa.

Pengakuan TikToker Galih Loss Soal Video Diduga Menistakan Agama: Saya Menyesali Semua

Salah satunya dialami oleh Aamil, warga Hebron, Palestina. Menurut pernyataan
Bumi Resources Masuk 7 Perusahaan Wajib Pajak Terbaik versi DJP Kemenkeu
Médecins Sans Frontières (Dokter Lintas Batas/MSF) kepada VIVAnews, Kamis 12 Desember 2013, Aamil adalah warga Palestina yang bekerja di Israel.

Namun, pria 30 tahun ini jadi sulit bekerja setelah Israel membangun dinding yang memisahkan warga Palestina dan Yahudi. Padahal, dia harus mencari uang untuk membiayai pernikahannya. Akhirnya, dia mencari jalan pintas, memanjat dinding, ketimbang melalui pos pemeriksaan.


Saat berada di atas dinding, naas, tentara Israel telah menunggunya di bawah. “Ayo turun, kami tidak akan menyakitimu; kami akan mengizinkanmu keluar dan kembali masuk melalui pos pemeriksaan,” kata tentara Israel itu.


Namun tentara ini berbohong. Saat Aamil turun dia ditarik dan dipukuli. Aamil dibawa ke sebuah tempat di perbukitan. Di sana dia ditinggal sendirian. Beruntung, setelah beberapa jam berlalu, kawannya menelepon ponselnya dan ambulans menjemputnya pada pukul satu pagi.


Hasil rumah sakit: tulang panggul, siku, dan pergelangan tangan Aamil retak, kandung kemihnya pecah. Ia di rumah sakit selama enam bulan. MSF mulai merawatnya karena depresi. Hingga kini, Aamil masih mengalami gangguan kejiwaan berupa depresi yang kemungkinan akan selamanya melekat.


Perangainya berubah menjadi pendiam. Pacarnya memutuskan pertunangan, membuatnya semakin terpukul. “Kini mereka meninggalkan saya sendiri, saya merasa tidak diterima di rumah. Apakah saya punya masa depan? Harapan? Saya sama sekali tidak optimistis,” Aamil menuturkan.


Huda dan Dua Anaknya

Aamil bukanlah satu-satunya warga Palestina yang menderita gangguan jiwa. Hal ini dialami juga oleh anak-anak yang ditangkap secara ilegal oleh tentara Israel. Di antara mereka adalah Ashraf dan Jamal, berusia 7 dan 8 tahun.


Keduanya ditangkap tentara Israel di Silwan, Yerusalem, bersama 10 anak lainnya. Saat memberontak, kepala mereka dibenturkan ke badan mobil. Gigi depan Ashraf patah. Ibunya, Huda, mencari anak-anak mereka dari kantor polisi hingga perbukitan. Akhirnya, dia menemukan dua buah hatinya mendekam di penjara Russian Compound di pusat kota.


Anak-anaknya ditahan dengan tuduhan klasik ‘melempari tentara dengan batu’. Menurut Huda, tentara tidak punya bukti. Orangtua dan saudara mengajukan protes ke petugas. Petugas meminta mereka menandatangani dokumen yang mengatakan anak-anak telah melempar batu. Mereka menolak tanda tangan.


Anak-anak ditahan selama seminggu. Menurut anak-anak, mereka kerap dipukul. Mereka diperbolehkan menelepon ke rumah. Akhirnya, anak-anak pun dibebaskan. Akibat peristiwa ini, anak-anak tersebut trauma berat. Prestasi Ashraf dan Jamal di sekolah anjlok.


“Mereka susah tidur dan saat tidur sering bermimpi buruk melihat tentara mendobrak pintu dan meringkus mereka dan orang-orang lainnya. Anak saya yang besar mengompol seperti bayi. Mereka tidak berani keluar, jarang tidur, mereka sangat kaget dan takut mendengar bel, mereka sangat takut pada polisi,” Huda menuturkan.


Setahun kemudian, anak-anak itu masih jarang keluar rumah, mereka lebih suka di rumah bersama ibu dan adik bayinya, bermain komputer. Mereka sangat pendiam dan penurut, bisa dibilang terlalu pendiam.


Kemudian, Huda mulai berkonsultasi dengan MSF. “Ada seorang psikolog yang menemui anak-anak dan setelah beberapa waktu, saya bisa melihat perkembangan mereka. Di kelas mereka lebih aktif dan napsu makan membaik. Namun, anak saya yang kecil selalu membawa mainan favoritnya di tas, seolah dia takut jika kejadian itu terulang lagi, seolah mainannya bisa sedikit membuatnya merasa tenang,” ujar Huda.


Huda, yang suaminya tidak bekerja punya masalah lain. Rumahnya yang sederhana, dibangun di dekat gunung, akan digusur.


Penduduk tidak diizinkan membangun di wilayah Palestina di Yerusalem Timur. Namun jumlah penduduk terus bertambah, mereka perlu tempat tinggal dan membangun rumah. MSF telah memperkenalkan Huda dengan seorang pengacara yang akan membantunya mengurus persoalan hukum rumahnya.


“Saya hanya ingin hidup tenang, anak saya bisa ke sekolah dan bisa pulang ke rumah setiap harinya.” (eh)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya