Jelang Eksekusi Mati, Warga Prancis Ajukan PK

Serge Atlaoui
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta

VIVA.co.id - Terpidana mati kasus narkoba asal Prancis, Serge Areski Atlaoui mengajukan perlawanan terakhi,r agar bisa terhindar dari eksekusi mati yang diprediksi akan dilakukan dalam waktu dekat.

Dua Tahun Haris Azhar Simpan Rahasia Freddy Budiman

Dengan dibantu tim konsuler dan pengacara dari Indonesia, Atlaoui mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri di Tangerang.

Pengacara Atlaoui, Nancy Yuliana, menyampaikan hal itu pada Kamis 26 Februari 2015, di Gedung Kedutaan Besar Prancis, Jakarta Pusat. Menurut, Nancy, kliennya tidak layak dihukum mati. Sebab, dia tidak ikut terlibat dalam operasional pabrik ekstasi di Cikande, Tangerang.

"Dia selama ini hanya bekerja untuk memasang instalasi tabung pipa di pabrik tersebut. Sejak awal, dia tidak tahu kalau pabrik yang dimiliki oleh Benny Sudrajat dan Budi Tjipto itu adalah pabrik narkoba," ujar Nancy.

Kliennya, kata Nancy ditawari pekerjaan di Indonesia oleh seorang warga Belanda bernama Max. Saat ini, Max turut masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO).

"Atlaoui baru tiga kali datang ke Indonesia yakni bulan Maret, September, dan Oktober 2005. Setiap kali datang, selalu bekerja selama dua pekan dan dibayar sekitar 2.000 Euro (Rp29 juta) per minggunya," ujar Nancy.

Di saat dia datang itulah, kata Nancy, dilakukan penggrebekan oleh polisi di pabrik itu.

Sidang perdana PK tersebut akan digelar pada 11 Maret 2015 di Pengadilan Negeri Tangerang. Alasan lain yang dipaparkan oleh Nancy, yaitu karena terdapat kesalahan dalam pelaksanaan hukuman mati terhadap pria berusia 52 tahun itu.

"Yang dijatuhi hukuman mati kan total ada sembilan orang. Dua di antaranya telah meninggal. Sementara itu, enam orang lainnya sudah mengajukan upaya keringanan hukum sejak tahun lalu," kata dia.

Tetapi, lanjut Nancy, mengapa hanya kliennya yang dieksekusi lebih dulu. Sementara itu, menurut ketentuan hukum, jika ada pelaku lebih dari satu orang terlibat dalam kasus yang sama, harus dieksekusi bersama-sama.

Alasan ketiga, yaitu adan perbedaan hukuman yang dijatuhkan oleh hakim. Semula, ucap Nancy, Atlaoui, dijatuhi vonis penjara seumur hidup.

"Kemudian ketika mengajukan banding hingga di tingkat Mahkamah Agung malah dijatuhi hukuman mati," katanya.

Anehnya, di saat telah mengajukan PK, justru tidak ada bukti baru yang diajukan oleh pihak Nancy. Dia beralasan, hal itu terbentur biaya untuk bisa menemukan bukti.

"Situasi keuangan mereka tidak memungkinkan. Sementara, untuk bisa memperoleh bukti baru, kita harus melakukan riset ulang dan memperoleh saksi," kata dia.

Nancy yakin PK kliennya akan diterima oleh pengadilan. Belajar dari kasus duo gembong Bali Nine, Nancy tidak mengajukan PK ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN), melainkan ke PN Tangerang.

"Lagipula, dia baru mengajukan PK pertama dan itu sudah menjadi haknya. Tidak ada keterkaitan secara khusus jika grasi sudah ditolak, lalu tidak bisa mengajukan PK," ujarnya.

Dia berharap, kliennya tidak akan dieksekusi di saat proses pengajuan PK tengah dilakukan.

Sementara itu, Pemerintah Prancis melalui Duta Besar Corinne Breuze, berharap otoritas berwenang di Indonesia bisa memeriksa secara adil dan seksama PK tersebut, sehingga warganya bisa terbebas dari hukuman mati.

"Kami menghormati sistem hukum di Indonesia. Namun, tetap berharap aparat hukum akan memproses PK ini sesuai ketentuan," kata Breuze.

Atlaoui ditangkap pada 2006 lalu, ketika dilakukan penggrebekan pabrik ekstasi terbesar di Asia yang berlokasi Cikande, Tangerang. Menurut informasi dari Kejaksaan Agung, Atlaoui ikut terlibat dalam operasional pabrik itu sebagai peracik narkoba. (asp)



Baca juga:



Polri, TNI dan BNN Diminta Cabut Laporkan Haris Azhar
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar

Johan Budi Harusnya Tanggapi Laporan Haris Azhar

Kepolisian harusnya tenang dan tidak mempermasalahkan Haris Azhar.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016