Protes Asing Soal Eksekusi Mati Hanya Komoditas Politik

Terpidana mati asal Prancis, Serge Atlaoui
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
VIVA.co.id
Menko Luhut Minta Soal Eksekusi Mati Tak Perlu Diumbar
- Pengamat Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Indonesia tidak perlu gentar dan khawatir ketika melakukan eksekusi mati gelombang kedua. Mantan Dekan di Fakultas Hukum UI itu menilai protes yang disampaikan para pemimpin negara asing kepada Indonesia tak lebih  demi kepentingan komoditas politik.

Fokus Pembangunan, Eksekusi Mati Tahap Ketiga Ditunda

Hal itu disampaikan Hikmahanto melalui keterangan tertulis yang diterima
Jaksa Agung Belum Pikirkan Eksekusi Tahap 3
VIVA.co.id pada Selasa, 28 April 2015. Beberapa nama seperti Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, Presiden Prancis, Francois Hollande dan Presiden Brasil, Dilma Rousseff, adalah sosok yang tengah menurun pamornya di hadapan publik dalam negeri.

Bahkan, Abbott hampir terjungkal dari kursi PM ketika digelar pemungutan suara yang berujung kepada mosi tidak percaya. Sementara, demonstrasi besar-besaran terjadi di Brasil dan menuntut Rousseff segera mundur akibat terlibat skandal korupsi.


"Sehingga, isu hukuman mati di Indonesia dijadikan komoditas empuk untuk menaikkan pamor mereka," kata Hikmahanto.


Menurut dia, hal ini patut disayangkan, jika Indonesia harus mengorbankan kepentingan dalam negeri untuk ambisi para politisi asing.


Selain itu, ada empat alasan lainnya mengapa Indonesia tetap menjalankan eksekusi mati gelombang kedua. Kedua, Indonesia baru saja sukses menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Jakarta dan Bandung pada pekan lalu.


Justru, isu ini tengah menguji apakah pelaksanaan kedaulatan negara hanya sebatas retorika atau betul-betul direalisasikan.


"Dalam Dasa Sila, prinsip non intervensi terhadap negara-negara di Asia Afrika merupakan prinsip yang masih relevan pada masa kini. Sekali pemerintah mundur dari kebijakan ini, maka Indonesia akan menjadi bahan tertawaan karena tak mampu melaksanakan prinsip yang terdapat di dalam Dasa Sila itu," papar Guru Besar Hukum Internasional itu.


Ketiga, protes yang disampaikan Prancis dan Negeri Kanguru, tak lebih dari sikap negara yang tidak mengenal hukuman mati. Agar pemerintahnya dapat mempertanggung jawabkan mandat yang diberikan oleh rakyatnya, maka mereka harus menyuarakan protes, bahkan ancaman atas pelaksanaan hukuman mati.


"Negara-negara tersebut tentu tidak dapat dicegah bila memprotes kebijakan Pemerintah Indonesia. Bahkan, mereka dapat memanggil pulang Duta Besarnya untuk berkonsultasi," kata dia.


Setelah selesai pelaksanaan hukuman mati, maka hubungan akan cair kembali dan Dubes akan dikembalikan ke Indonesia. Menurut Hikmahanto, tak ada pemerintah yang berani untuk mempertaruhkan hubungan baik dan saling menguntungkan demi membela warganya yang melakukan suatu kejahatan.


Keempat, Hikmahanto menilai tekanan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia ganjil. Sebab, tekanan serupa tidak mereka tunjukkan ketika warganya dieksekusi mati pada Maret lalu di Tiongkok.


Kelima, pernyataan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon patut disayangkan, sebab membuat pernyataan di luar tugas dan fungsi sebagai Sekjen. Sekjen PBB, kata Hikmahanto, bukan Presiden dari negara-negara di dunia yang dapat mengeluarkan perintah.


"Lagipula di mana suara Sekjen PBB ketika baru-baru ini dua TKW dihukum mati di Arab Saudi? Di mana pembelaan Sekjen PBB?," tanya Hikmahanto.


Terlebih aneh, karena di negara asalnya, Korea Selatan, pemerintah juga masih memberkukan hukuman mati. Hikmahanto turut membantah aturan Konvenan Internasional Sipil dan Politik hanya membatasi kejahatan serius sebagai kejahatan internasional.


"Dalam konvenan itu, secara tegas diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk menentukan tindak kejahatan yang termasuk serius," tuturnya.


Sehingga, Hikmahanto berpendapat tak heran jika Presiden Joko Widodo menyatakan PBB tidak merefkleksikan kepentingan negara Asia Afrika dan menuntut adanya reformasi. Kepentingan dan suara yang dibawa di PBB, sebagian besar merupakan negara Eropa, Australia dan Amerika.



Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya