AS Kritik Aturan Pengendalian Kelahiran di Myanmar

Wakil Menlu AS, Antony Blinken
Sumber :
  • REUTERS/Henry Romero
VIVA.co.id
Myanmar Diminta Tak Diskriminatif Terhadap Rohingya
- Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken mengkritik aturan pengendalian kelahiran yang diumumkan Pemerintah Myanmar. Sebab, aturan itu diduga hanya menyasar ke kaum etnis Rohingya.

Tokoh Rohingya Sanjung Keramahan Warga Aceh Utara

Harian Inggris,
Kemlu: RI Harus Bangga Bersedia Tampung Imigran
The Guardian , Selasa, 26 Mei 2015 melansir, dalam aturan baru yang telah ditandatangani oleh Presiden Thein Sein, pemerintahan dari 14 negara bagian dan wilayah dapat meminta sebuah keppres agar otoritas setempat mewajibkan adanyanya jeda kelahiran dari wanita tiap 36 bulan sekali. Aturan itu, memang sesuai dengan rekomendasi badan kesehatan dunia, WHO yang bertujuan mengurangi tingkat kematian anak.


Tetapi, UU tersebut secara eksplisit juga menyatakan faktor-faktor lain yang ikut menjadi pertimbangan adalah adanya kekurangan makanan dan tingginya jumlah migran di area itu. Tingginya tingkat perkembangan populasi dan tingkat kelahiran dinilai dapat memberikan dampak negatif kepada pembangunan regional.


Oleh sebab itu, para pengamat internasional merasa prihatin hukum tersebut sebenarnya hanya ditujukan secara khusus untuk mengendalikan tingkat kelahiran komunitas Muslim.


Blinken mengatakan UU kependudukan itu bisa diberlakukan hanya sebagai upaya untuk menekan hak reproduksi kaum minoritas. Oleh sebab itu, pada pekan lalu di saat tengah berkunjung ke Myanmar, Blinken melobi Presiden Thein Sein. Padahal, UU tersebut secara diam-diam telah ditanda tangani.


"Kami secara khusus khawatir UU itu malah memberikan alasan hukum untuk bertindak diskriminatif melalui kebijakan pengendalian kelahiran dan memberikan standar berbeda untuk jenis masyarakat yang berbeda," kata perwakilan Departemen Luar Negeri AS.


Sebelumnya, bhiksu radikal, Ashin Wirathu yang dekat dengan Komite untuk Gerakan Religi dan Perlindungan Kewarganegaraan, mengaku khawatir jika populasi Rohingya di Myanmar terus bertambah.


"Jika UU tersebut diberlakukan, maka dapat menghentikan warga Bengal yang kera menyebut diri mereka sendiri Rohingya dan mencoba meraih wilayah," kata Ashin kepada majalah Irrawaddy.


Selain berisi jeda kelahiran, terdapat juga tiga aturan lainnya yakni membatasi peralihan agama, pernikahan antar agama dan melarang adanya perselingkuhan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya