Amnesti Internasional Desak Indonesia Hapus Hukuman Mati

Peti jenazah untuk para napi yang dihukum mati di Pulau Nusakambangan beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

VIVA.co.id - Organisasi Amnesti Internasional (AI) mendesak agar Indonesia mengakhiri hukuman mati. Sebab, sistem hukum yang diberlakukan hingga akhirnya membuahkan vonis tersebut banyak mengalami cacat.

Johan Budi Harusnya Tanggapi Laporan Haris Azhar

Desakan ini disampaikan melalui siaran pers yang dikutip VIVA.co.id pada Jumat, 16 Oktober 2015 dari laporan yang berjudul "Flawed Justice" atau "Keadilan yang Cacat". Berdasarkan laporan itu, para terpidana mati di Indonesia secara rutin tidak diberikan akses kepada pengacara. 

Mereka juga dipaksa untuk membuat "pengakuan" melalui pemukulan yang hebat. Sedangkan warga asing harus menjalani sistem hukum yang sulit mereka mengerti. Ditambah, mereka juga tidak disediakan para penerjemah yang mumpuni. 
Dua Tahun Haris Azhar Simpan Rahasia Freddy Budiman

Direktur Kampanye Amnesty International untuk kawasan Asia Tenggara, Josef Benedict, menyayangkan rezim kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, menurut AI, ada tanda-tanda kuat Indonesia telah menjauh dari pelaksanaan hukuman mati selama beberapa tahun belakangan.
Napi Pengendali Sabu 17 Kg Dituntut Hukuman Mati

Tetapi, justru di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, pelaksanaan eksekusi mati meningkat secara signifikan. Sejak menjabat pada Oktober tahun lalu, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi 14 orang.

"Kebijakan putar arah tanpa perasaan ini telah berujung pada kematian 14 orang, meskipun ada bukti yang jelas adanya pelanggaran mencolok dari prinsip peradilan yang adil. Pemerintah mungkin saja mengklaim mereka mengikuti hukum internasional secara literal, tetapi penyelidikan kami menunjukkan realitas di lapangan sangat berbeda dengan adanya cacat endemik di dalam sistem hukum," papar Benedict. 

Berdasarkan data yang dimiliki AI, dari 14 orang yang dieksekusi di hadapan regu tembak pada 2015, sebanyak 12 orang di antaranya adalah warga asing dan divonis atas tindak kejahatan narkotika. Indonesia, kata AI, telah memberlakukan hukuman mati karena mengatasi keadaan "darurat narkotika" nasional. 

Tetapi, menurut AI, hingga saat ini tidak ada bukti ancaman hukuman mati menjadi efek jera suatu kejahatan dibandingkan hukuman penjara. Jokowi juga telah menyatakan, akan menolak semua permohonan grasi dari terpidana mati untuk kasus narkoba.

Sementara itu, dari 12 terpidana mati yang telah dieksekusi diputuskan melalui proses peradilan yang cacat hukum. Sehingga, dianggap menimbulkan pertanyaan serius dalam pemberlakukan hukuman mati di Indonesia.

Salah satu napi yang disebut AI mengalami perlakuan tidak sesuai hukum adalah warga Pakistan bernama Zulfiqar Ali. Dia mengaku poliis menahan dia di sebuah rumah selama tiga usai ditangkap. 

Di sana, dia ditendang, dipukul dan diancam akan dibunuh. Alhasil, dia bersedia menandatangani sebuah "pengakuan". Akibat pemukulan itu, Zulfiqar harus menjalani operasi ginjal dan perut. 

Selain itu, AI turut mengkritik penyediaan pengacara yang baru dilakukan beberapa mingu atau bulan kemudian. Sempat ada keraguan serius terhadap kualitas pembela hukum yang disediakan bagi napi yang divonis mati. 

Dalam satu kasus, satu-satunya nasehat hukum yang diberikan pembela hukum adalah dengan menjawab "ya" untuk segala pertanyaan dari penyidik. Bahkan, vonis mati diberikan hakim atas permintaan pembela hukum terdakwa sendiri. 

Berdasarkan pemaparan itu, AI memberikan beberapa rekomendasi bagi Pemerintah Indonesia. Pertama, membentuk sebuah badan independen untuk meninjau semua kasus terpidana mati. 

"Harapannya, hukuman itu bisa diubah atau dikurangi," kata Benedict.

Rekomendasi kedua, Indonesia harus mereformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) agar sesuai dengan standar internasional dan memastikan semua hak terpidana akan dihormati. 

"Presiden Jokowi telah berjanji untuk memperbaiki HAM di Indonesia. Namun, dengan menempatkan puluhan orang di hadapan regu tembak, menunjukkan komitmen itu hanya janji kosong," kata Benedict. (ase)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya