Heboh Rumor Pelobi Muluskan Kunjungan Jokowi ke Amerika

Sumber :
  • REUTERS / Jonathan Ernst
VIVA.co.id
Menko Luhut Berencana Kunjungi Reklamasi Pulau G
- Publik di Tanah Air tengah dihebohkan dengan rumor mengenai penggunaan jasa pelobi untuk membantu memuluskan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat pada akhir Oktober lalu. Rumor bermula dari sebuah artikel yang ditulis seorang pengajar Ilmu Politik dan Studi Internasional di Universitas London, Inggris, Michael Buehler di sebuah blog yang dikelola oleh Universitas Nasional Australia (ANU) bernama New Mandala.

Jokowi Minta Luhut Bereskan Persoalan Reklamasi
Dalam artikel berjudul "Menunggu di Lobi Gedung Putih" yang diterbitkan pada Jumat, 6 November 2015, Buehler menyebut adanya keterlibatan sebuah perusahaan konsultan asal Singapura, Pereira International PTE LTD, yang melakukan pembayaran senilai US$80 ribu atau setara Rp1 miliar kepada perusahaan humas yang berbasis di Las Vegas, R&R Partners. Yang menjadi perdebatan, Pereira International mengklaim mewakili Pemerintah Indonesia di dalam kontrak tersebut. Selain itu, dana yang dibayarkan Pereira adalah biaya yang dikeluarkan demi memuluskan kunjungan Jokowi ke AS. 

Wiranto Yakin Luhut Akan Perbaiki Kemenko Maritim
Buehler mendasarkan tulisan itu dari sebuah dokumen publik yang diperoleh dari Kementerian Kehakiman AS berdasarkan UU Registrasi Badan Asing (FARA) pada 17 Juni 2015. Dalam dokumen publik yang juga diunggah ke blog tersebut sebagai bukti, terdapat sebuah kontrak mengenai nominal pembayaran pelobi dan jasa yang akan mereka lakukan. 

Kontrak itu merinci jasa yang ditawarkan R&R yakni mengatur dan menghadiri pertemuan dengan kunci para pembuat kebijakan, anggota Kongres dan berbagai badan terkait termasuk Departemen Luar Negeri, memberikan peluang agar ada sesi khusus dengan anggota kongres selama kunjungan Jokowi ke AS dan bekerja dengan beberapa individu, media, organisasi baik publik atau swasta untuk mendukung upaya Jokowi. 

"Seorang konsultan akan mengkomunikasikan pentingnya Republik Indonesia bagi AS di bidang-bidang seperti keamanan, perdagangan dan ekonomi," tulis kontrak tersebut. 

Kontrak itu diteken oleh Konsul Jenderal sekaligus Wakil Eksekutif Presiden R&R Partner, Morgan Baumgartner dan Derwin Pereira selaku pemilik perusahaan konsultan Pereira International. Yang menarik, ketika Buehler mencoba menganalisa pejabat yang memberikan dana kepada Pereira International untuk mewakili kepentingan Indonesia.

Dia memulai dengan menelusuri jejak sang pemilik Pereira, yakni Derwin Pereira. Sebab di dalam kontrak tidak ditulis siapa pejabat Indonesia yang dia wakili. Tetapi, Derwin memang sudah lama diketahui memiliki hubungan yang dekat dengan kalangan elite dan berkuasa di Tanah Air.

"Derwin meraih gelar sarjana di London School of Economics and Political Science di awal tahun 1990-an. Usai lulus, dia bekerja untuk harian terbesar di Singapura, The Straits Times dan berkantor di Indonesia. Di sana, dia ditunjuk menjadi Kepala Biro," tulis Buehler dalam blognya. 

Dari situlah Buehler menduga, Derwin bisa memiliki kedekatan dengan para pejabat di Indonesia. Derwin kemudian melanjutkan studinya di Harvard's Kennedy School of Government dan tetap menjalin kedekatan dengan almamaternya itu. Selain tercatat sebagai anggota Dewan Internasional di kampus itu, Derwin juga mendanai fellowship untuk mendukung program bagi mahasiswa Indonesia bernama Edward S. Mason. 

Program itu menawarkan pelatihan untuk membuat kebijakan bagi para pemimpin dari negara-negara berkembang dan ekonomi transisi. Derwin juga menggandeng Yayasan Ancora milik mantan Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan dalam memilih fellow-nya. 

Uniknya, menurut Buehler, salah satu warga Indonesia yang berhasil lolos seleksi ketat fellowship tersebut adalah putera sulung mantan Presiden SBY, Agus Yudhoyono. 

Tanpa didukung bukti yang kuat, Buehler menuding Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkpolhukam) Luhut Pandjaitanlah yang menggunakan jasa Pereira. Asumsi didasari kedekatan di antara keduanya. 

"Dia pernah menulis beberapa artikel mengenai Luhut ketika masih bekerja di The Straits Times. Bahkan, dia juga mewawancarai Luhut ketika dia masih menjadi Duta Besar di Singapura pada tahun 1999-2000," tulis Buehler. 

Selain itu, di situs Pereira International, Derwin menggunakan foto yang sama dan ditampilkan oleh Luhut untuk situs perusahaannya, Toba Sejahtera. Perusahaan Luhut itu diketahui bergerak di bidang penambangan dan penanaman lahan. 

Berdasarkan pengamatannya terhadap media di Indonesia, Buehler beranggapan Luhutlah dalang di balik persiapan kunjungan Jokowi ke AS. Dia turut merujuk ke beberapa artikel di media daring mengenai keberadaan Luhut pada bulan Maret lalu di Negeri Paman Sam sebagai bagian dari persiapan Jokowi menyambangi AS. 

Menurutnya, posisi Luhut yang ketika itu masih menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan dianggap melangkahi kewenangan Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P Marsudi. Sehingga, Buehler menganggap ada konflik di antara kedua Menteri tersebut.

Selain mempertanyakan adanya kewenangan Retno yang telah dilangkahi Luhut, Buehler juga penasaran dari mana danai senilai US$80 ribu untuk membayar jasa perusahaan humas R&R Partners. 

"Apakah dana tersebut diambil dari dana pajak rakyat untuk membiayai layanan yang seharusnya menjadi tugas dari KBRI di AS? Apakah langkah ini dilakukan usai berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri atau malah melangkahi kewenangan mereka?" tanya Buehler. 

Apakah Kementerian Luar Negeri (Kemlu) telah dilangkahi? Kemlu sendiri mengkonfirmasi tida ada pembayaran US$80 ribu untuk lobi agar Presiden Jokowi mulus bertemu Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama.

Klarifikasi ini disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, di Kanawa Coffe kawasan Senopati, Jakarta Selatan pada Sabtu, 7 November 2015.

"Kemlu tidak menggunakan lobi atau tidak membayar lobi dalam mempersiapkan kunjungan Presiden Jokowi ke Amerika Serikat," katanya.

Kemlu menjelaskan bahwa kunjungan Jokowi ke AS berdasarkan undangan Obama secara lisan saat pertemuan bilateral KTT APEC 2014 di Beijing tanggal 10 November 2014.

"Tugas saya meluruskan berita yang tidak tepat dan menyampaikan data yang saya miliki," tambah Menteri Retno.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya