Badan Intelijen Prancis Dituding Gagal Cegah Aksi Teror

Tricolore Menara Eiffel untuk Hormati Korban Serangan Paris
Sumber :
  • Reuters/Benoit Tessier
VIVA.co.id
Gelar Operasi Antiteror, Polisi Kanada Lumpuhkan Tersangka
- Badan keamanan Prancis sekali lagi dihadapkan pada situasi yang sulit usai gagal mencegah serangan teror di Paris pada Jumat pekan lalu. Dalam beberapa serangan teror yang terjadi di beberapa lokasi, pelaku berhasil menewaskan 129 orang dan melukai ratusan warga lainnya. 

ISIS Klaim Rampas Senjata Milik Tentara AS
Dikutip dari stasiun berita Channel News Asia, Selasa, 17 November 2015, kegagalan Badan Intelijen Prancis, DSGE, yang pertama yaitu berhasil kaburnya salah satu pelaku, Samy Amimour. Padahal, Pemerintah Prancis telah mengetahui keberadaannya di negara tersebut pada 2012. Saat itu, pemerintah berhasil mencegah Amimour yang bermaksud untuk berangkat ke Yaman. 

Militer Mesir Klaim Tewaskan Pentolan ISIS di Sinai
Kendati gagal pergi ke Yaman, tetapi satu tahun kemudian, Amimour berhasil berangkat ke Suriah. Kini, Amimour justru tengah menjadi buronan internasional. 

Walaupun menyandang status buron, tetapi Amimour berhasil ikut serta dalam serangan ke Prancis pada Jumat pekan lalu. Mantan kepala keamanan di bagian eksternal DSGE, Alain Chouet mengakui adanya tantangan besar dalam pengendalian perbatasan Schengen. 

"Ketibaan Amimour seharusnya menjadi pemicu peringatan bagi kami. Tetapi, orang-orang ini memahami dengan baik teknik untuk bisa masuk dan keluar zona Schengen. Mereka telah melakukannya berkali-kali," kata Chouet. 

Kegagalan kedua, ketika Prancis gagal mencegah aksi Omar Ismail Mostefai untuk meledakkan diri sendiri di area konser Bataclan. Mostefai bahkan telah berada di radar intelijen Prancis sejak 2010. Otoritas Prancis memasukkannya ke dalam dokumen dengan jenis "S" yang diketahui khusus bagi orang-orang yang berpotensi menjadi ekstremis. 

Pemerintah Turki mengatakan telah memperingatkan Prancis soal potensi ancaman di kedua lokasi tersebut pada Desember dan Januari. Potensi itu terlacak usai Mostefai menuju Turki pada 2013. Tetapi, Turki merasa informasi yang mereka berikan sia-sia, karena Prancis tidak merespons. 

Belum lagi, Belgia turut menyebabkan permasalahan besar lainnya bagi keamanan Eropa. Sementara itu, beberapa pelaku diketahui tinggal di sana, tetapi polisi sulit melacak pergerakan mereka. 

"Kalian mengerti jika kami tidak diberikan informasi dari warga Belgia, maka kami tidak bisa melakukan apa pun," kata seorang pejabat senior Prancis.


Sulit Lacak Individu

Sementara itu, di mata analis keamanan Prancis untuk organisasi IHS Risiko Negara di London, Kit Nicholl, badan intelijen Prancis akan selalu disalahkan, karena jumlah individu yang perlu dipantau terlalu besar. 

"Mereka kewalahan dan akan selalu ada kemungkinan terlewat," kata Nicholl. 

Prancis memang diketahui berkontribusi paling tinggi dalam menyumbang jumlah warga yang bergabung ke kelompok militan di Suriah dan Irak. Sementara itu, menurut angka dari pejabat berwenang, terdapat sekitar 500 warga Prancis diketahui telah bergabung dengan ISIS. 

Sebanyak 250 di antaranya diketahui telah kembali dan 750 orang lainnya menyatakan secara jelas minat untuk kembali berperang di sana. Lebih dari 10 ribu orang diketahui berstatus dokumen "S" atau berpotensi sebagai anggota kelompok ekstremis. 

Lalu, untuk mencegah tindakan terorisme, Pemerintah Prancis meloloskan aturan hukum baru pada musim panas lalu, yakni otoritas setempat diizinkan untuk menyadap telepon seluler dan pembicaraan online.

Tetapi, hal tersebut tidak mencegah serangan teror yang dilakukan kakak beradik Kouachi untuk menyerang kantor redaksi Majalah Charlie Hebdo pada Januari lalu. 

"Jadi, jelas permasalahannya bukan pada identifikasi potensi teroris. Tetapi, lebih ke sumber untuk menganalisis dan menilai," kata Nicholl. 

Menurut dia, anggota kelompok militan yang pernah menerima pelatihan di luar negeri, kemungkinan sudah memiliki pengetahuan mengenai cara untuk mencegah agar tidak disadap entah dengan menghindari berkomunikasi secara bersamaan atau menggunakan teknologi enkripsi yang lebih modern.

Alhasil, sulit bagi badan intelijen menebak gerak dari anggota militan tersebut, karena teknologi yang mereka gunakan satu langkah di depan. 

Sementara itu, menurut ahli kontra terorisme untuk DSGE yang tak mau disebutkan namanya, menyebut ada tiga teori yang menyebabkan badan intelijen kerap kebobolan. 

"Pertama, karena tidak ada satu pun anggota intelijen yang melihat dan itu menjadi sebuah kekhawatiran besar. Atau kami melihat beberapa hal dan kami tidak memahami itu, yang tentu saja juga menjadi sebuah masalah. Atau kami melihat beberapa hal dan terlepas apakah mereka bisa melakukan serangan tersebut," papar ahli tersebut. 

Dia menjelaskan secara singkat, artinya entah permasalahannya ada di badan intelijen, atau analisis intelijen atau tali komando di antara layanan keamanan. 

"Tantangan yang dihadapi semakin berat karena pada faktanya serangan teror disiapkan di Belgia," ahli itu menambahkan. 

Sementara itu, seorang pejabat tinggi yang menangani aksi kontra terorisme Prancis dalam sebuah wawancara baru-baru ini mengaku sulit untuk memprioritaskan individu tertentu agar dimasukkan ke dalam daftar.

"Hal itu membuat saya sulit tidur. Bagaimana Anda bisa meletakkan nama yang benar di tempat yang tepat dalam daftar? Apa yang kami lakukan benar-benar jauh dari ilmu sains pasti," kata dia. 
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya