Retas Tradisi, Tunisia Izinkan Perempuan Menikah Beda Agama

Sejumlah perempuan di Tunisia bercengkerama di sebuah kafe.
Sumber :
  • REUTERS/Anis Mili

VIVA.co.id – Sejak sepekan lalu, Tunisia menjadi satu-satunya negara Arab yang memperbolehkan wanita muslim untuk menikahi pria non-muslim. Keputusan ini menjadi langkah baru dari tradisi berabad-abad dan menuai penghargaan dari berbagai kelompok HAM di dunia.

Kowani Kaji Uji Materi Aturan Pembagian Harta Bersama yang Merugikan Perempuan

Kebijakan memperbolehkan menikah berbeda agama ini secara ressmi diumumkan oleh juru bicara Presiden Beji Caid Essebsi.

Tentu ini menjadi langkah besar, sebab selama ini di Tunisia, seorang pria non-muslim yang ingin menikahi seorang wanita muslim di Tunisia, maka ia harus masuk Islam dan menyerahkan sertifikat pertobatannya sebagai tanda bukti.

Kemen-PPPA: Perempuan Lebih Rentan Terdampak Perubahan Iklim karena Peran Tradisional Gender

Selama ini sebagai negara yang memiliki 99 persen Muslim, Tunisia dipandang sebagai salah satu negara Arab paling progresif dalam hal hak-hak perempuan.

Dalam pidatonya bulan lalu di perayaan Hari Perempuan Nasional, Presiden Essebsi menyebut bahwa hukum pernikahan yang telah ada sejak tahun 1973 telah menjadi hambatan bagi warganya untuk mendapatkan kebebasan dalam memilih pasangan.

Menteri PPPA: Pemkab Wajo Contoh Keberhasilan Tekan Angka Perkawinan Anak

Pembatasan tersebut juga dianggap melanggar konstitusi Tunisia yang diadopsi tahun 2014, setelah revolusi Arab Spring.

Menurut BBC, Jumat 22 September 2017, banyak warga Tunisia melihat penghapusan pembatasan pernikahan tersebut sebagai langkah untuk menjamin kebebasan perempuan di negara tersebut.

Peraturan baru ini juga membedakan Tunisia sebagai negara pertama di Timur Tengah dan Afrika Utara, untuk menghapus peraturan hukum untuk menikah di luar agama resmi negara.

Tidak seperti wanita Muslim, pria di Tunisia bisa menikahi wanita non-Muslim tanpa perlu menunjukkan dokumen apapun.

Selain itu, pada bulan Juli, parlemen Tunisia juga memperkenalkan sebuah undang-undang baru yang menghapus sebuah klausul yang memungkinkan pemerkosa untuk lolos dari hukuman jika mereka menikahi korban mereka.

Negara tersebut melarang poligami sampai tahun 1956, yang membedakannya dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya.

Namun, perempuan di Tunisia masih menghadapi diskriminasi, terutama dalam masalah warisan yang masih memprioritaskan anak laki-laki atas anak perempuan. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya