Klinik Aborsi Percetakan Negara Ramai, Identitas Bisa Tak Sesuai KTP

Rekonstruksi kasus klinik aborsi ilegal di Raden Saleh, Jakarta
Sumber :
  • VIVA/Willibrodus

VIVA – Polisi mengungkap alasan banyak pasien perempuan yang mau menggunakan jasa aborsi ilegal di klinik aborsi Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat. Salah satunya karena para wanita itu hamil di luar nikah.

Sadis! Agustami Paksa Kekasih Gelapnya Aborsi di Kelapa Gading, Korban Tewas Pendarahan

"Memang rata-rata pelaku yang melakukan penguburan janin pertama adalah mereka hamil di luar nikah. Itu rata-rata terbesar hamil di luar nikah," ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus kepada wartawan, Kamis 24 September 2020.

Baca Juga: Dokter Klinik Aborsi Ilegal Percetakan Negara Belum Bersertifikat

Wanita Hamil Tewas di Ruko Kelapa Gading Dipaksa Aborsi oleh Kekasih Gelapnya

Kemudian, alasan lainnya adalah terkait identitas pasien. Identitas pasien aborsi yang menggunakan jasa aborsi ilegal di sana tidak memerlukan identitas asli atau identitasnya bisa dihilangkan. 

Seperti diketahui, dalam sehari klinik ini bisa melayani 5-6 orang. Sudah 32 ribu janin digugurkan di sana.

MA Amerika Serikat Batasi Peredaran Pil Aborsi

"Biasanya orang yang melakukan aborsi di klinik ilegal ada satu yang buat mereka mau, karena dia punya identitas bisa dihilangkan, tidak sesuai KTP," katanya.

Kini, sepuluh orang ditetapkan tersangka dalam kasus ini, yaitu LA (52), DK (30), NA (30), MM (38), YA (51), RA (52), LL (50), ED (28), SM (62), dan RS (25). Mereka berperan mulai dari pemilik, dokter hingga petugas kebersihan klinik tersebut.

Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 346 dan atau Pasal 348 ayat 1 dan atau Pasal 349 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP dan atau Pasal 194 juncto Pasal 75 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan atau Pasal 77A. 

Kemudian, juncto Pasal 45A UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Mereka terancam hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya