Kasus Eks DPRD NTB Cabuli Anak Mandek, Tenggat Penyidikan Sudah Habis

Ilustrasi pelecehan seksual.
Sumber :
  • Unsplash

VIVA – Sejumlah aktivis Koalisi Anti-Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Nusa Tenggara Barat (NTB) mendatangi kantor Kejaksaan Negeri Mataram untuk mempertanyakan kelanjutan penyidikan perkara pencabulan seorang mantan anggota DPRD NTB terhadap anak kandungnya.

Polda Jatim: Kapolda Instruksikan Tindak Tegas Polisi di Surabaya yang Diduga Cabuli Anak Tiri

Koalisi itu merupakan gabungan dari Pancarkarsa, AMSI NTB, Santai, LARD, PBH Mangandar, RSA, PBH Kawal Keadilan, AJI Mataram, LBH APIK NTB, dan Formapi.

Mereka mempertanyakan sejauhmana proses hukum terhadap kasus yang menjerat eks dewan berinisial AA itu. Sebab hingga kini tersangka belum kunjung disidang.

Heboh Pesawat Wings Air Hilang Kontak di Flores, Manajemen Kasih Penjelasan

Kejaksaan mengklaim telah bekerja secara maksimal atas kasus itu. Namun berkas penyidikan yang sempat diminta untuk diperbaiki, belum kunjung diperbaiki oleh Polresta Mataram hingga waktu penyidikan telah habis.

Menurut jaksa, pada 26 Januari 2021, Kejaksaan menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Penyidik Polresta Mataram. Dua hari kemudian Kejaksaan menerbitkan P-16, yaitu Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara tindak pidana.

Anak di Bawah Umur Diduga Dicabuli Saudara di Cengkareng, Begini Modusnya

"Kemudian, 5 Februari 2021, pihak Kejaksaan menerima pengiriman berkas perkara tahap pertama tertanggal 4 Februari 2021 kemudian diteliti," kata Kepala Seksi Pidana Umum Pintono Hartoyo, yang menemui para aktivis Koalisi.

Pada 9 Februari, Kejaksaan mengembalikan berkas perkara dengan menerbitkan P-18 atas hasil penyelidikan belum lengkap seperti laporan sosial terhadap anak korban yang belum ada dan P-19 mengenai pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi dengan Jaksa memberikan beberapa petunjuk.

"Tanggal 25 Maret 2021, oleh karena berkas perkara tidak lama kembali lagi, akhirnya diterbikan P-20 yang memberitahukan bahwa waktu penyidikan telah habis," ujarnya.

Tersangka AA bahkan ditangguhkan penahanannya dan hingga kini tidak ditahan. Kejaksaan mengaku tidak pernah memberikan petunjuk maupun menyetujui keputusan polisi menangguhkan penahanan tersangka AA maupun merekomendasikan untuk menyelesaikan kasus itu melalui pendekatan restorative justice.

Jaksa berharap Polresta Mataram segera mengembalikan berkas agar kasus diproses. Kejaksaan pun tidak dapat berbuat banyak jika polisi belum menindaklanjuti proses penyidikan.

Seorang aktivis perwakilan Koalisi, Yan Mangandar Putra, mengaku kecewa atas lambannya proses penyidikan terhadap tersangka AA. Dia memperingatkan kasus itu itu akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum, terutama karena polisi dan pengacara korban telah blakblakan menjelaskan perkaranya. “Bahkan diceritakan ada dugaan korban lain akibat dari perbuatan tersangka," katanya.

Jika alasan kasus dihentikan karena korban tidak kooperatif dan tidak menghadiri pemeriksaan, katanya, justru alasan itu dinilai tidak tepat. “Jangankan korban yang masih tinggal di wilayah Mataram, di luar negeri pun bisa dijemput, seperti kasus tersangka Josep yang diduga menistakan agama yang berada di luar negeri tetap diburu untuk dijemput," ujarnya.

Koalisi menegaskan, jika penyidik menganggap kasus ini belum cukup bukti, maka dapat dilakukan penghentian dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Selain untuk kepastian hukum, SP3 juga untuk kepentingan tersangka.

"Koalisi memastikan untuk siap mendukung Kejaksaan dan Kepolisian agar kasus ini terselesaikan, yang tentunya, dengan harapan hukum dan keadilan harus tetap ditegakkan," ujar Yan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya