Unram Minta Polisi Bebaskan Pembunuh Begal di Lombok karena Mendelsohn

Amaq Sinta, korban begal yang ditetapkan jadi tersangka
Sumber :
  • ANTARA/Akhyar

VIVA – Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram) mengadvokasi Murtede alias Amaq Sinta (34) yang ditetapkan tersangka usai membunuh dua dari empat begal yang mengadangnya.

Pembunuhan Sadis Modus Begal ke Mirna Ternyata Pembunuhan Berencana, Otaknya Menantu Korban

Tim Kuasa Hukum BKBH Unram, Joko Jumadi, mengatakan dalam perspektif viktimologi atau ilmu yang mempelajari tentang korban, para begal yang tewas adalah korban berpartisipasi dalam terjadinya viktimisasi (victim precipitation).

"Dan berdasar tipologi korban Mendelsohn dapat dikatagorikan the most guilty victim and the victim as is guilty alone, artinya merupakan sosok yang lebih bersalah dari pada pelaku," kata Joko Jumadi, Jumat, 15 April 2022.

Kawanan Pembunuh Mirna Bermodus Begal Ditangkap, Polisi Curiga Ada Motif Lain Pelaku

Pembelaan diri

Joko juga menjelaskan dalam pasal 49 KUHP ayat (1) menyebut tidak dipidana barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu atau dikenal dengan istilah daya paksa (noodweer).

Pembunuh Sadis Ibu dan Anak di Palembang Ditangkap, Ini Tampangnya

Ilustrasi Begal.

Photo :
  • Istimewa.

Kemudian pada ayat (2) disebut Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak boleh dipidana atau dikenal dengan noodweer exces.

Noodweer exces contohnya ketika seorang polisi menemukan istrinya diperkosa, lalu dia menembak pelaku pemerkosa berkali-kali akibat guncangan kejiwaan melihat istrinya diperkosa. Meskipun dengan menembak sekali dapat melumpuhkan pelaku, karena guncangan jiwa membuat dia menembak berkali-kali. Tindakan dia tidak dapat dipidana sesuai pasal 49 ayat (2) KUHP.

"Secara psikologis, ketika dalam posisi seperti AS (Amaq Sinta) maka melumpuhkan begal satu per satu adalah pilihan paling logis untuk dilakukan," terang Joko.

Dalam kondisi terancam seperti yang dialami Amaq Sinta pasti membuat orang berpikir pendek untuk menyelamatkan diri meskipun dengan melawan.

"Dalam posisi seperti AS pastinya akan memicu andrenalin dalam tubuh kita, di mana perasaan takut, panik, stres, dan merasa terancam pasti akan berpikir pendek dan tidak ada waktu untuk berpikir jernih kondisi ini seringkali juga disebut temporary insanity," katanya.

Joko Jumadi menjelaskan beberapa negara menganggap kasus seperti itu juga tidak dapat dipidana.

"Beberapa negara kondisi seperti ini dikategorikan sebagai tidak mampu bertanggung jawab dan disamakan dengan ODGJ sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 KUHP," ujarnya.

Titik kritis

Dosen Fakultas Hukum Unram Syamsul Hidayat mengatakan perbuatan Amaq Sinta jangan dilihat sepotong hanya saat dia menumbangkan begal. Tapi secara kausalitas itu terjadi karena dia diadang kawanan begal.

"Perbuatan Amaq Sinta harus dilihat menyeluruh bukan sepotong. Jangan hanya menilai dari penikaman pembegal yang berusaha kabur membawa motor AS. Perbuatan tersebut diawali pemepetan, pengadangan dan pembacokan yang dilakukan terlebih dahulu oleh kelompok begal," katanya.

Dia menjelaskan yang menjadi titik kritis pembelaan terpaksa dilakukan Amaq Sinta setelah begal memukulnya dengan senjata tajam.

"Jadi harus ditentukan terlebih dahulu kapan titik kritis pembelaan terpaksa dimulai. Titik kritisnya itu sesaat setelah pelaku begal menghadang dan membacok AS," katanya.

"Penikaman itu merupakan rangkaian dari pembelaan untuk mempertahankan harta bendanya. Keliru jika menilai sepenggal hanya dari penikaman di punggung (terduga begal)," katanya menerangkan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya