Pemerintah Depok Kecewa karena DPRD Tolak Rencana Kota Religius

Ilustrasi kota Depok.
Sumber :
  • VIVA/Zahrul Darmawan

VIVA – Pemerintah Kota Depok kecewa atas sikap Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat yang menolak Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Kota Religius.

Tim Saber Pungli Depok Beraksi, Amankan 4 Orang dari Terminal Depok

Menurut Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Depok, Salviadona, usulan rancangan peraturan daerah itu dalam rangka mewujudkan peningkatan tatanan kehidupan masyarakat yang berharkat, bermartabat, dan berakhlak mulia dengan tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan

“Hanya saja kami dari pihak eksekutif menyayangkan bahwa sebelum kami diberi kesempatan untuk menjelaskan maksud dan tujuan usulan Raperda tersebut secara sepihak Bamus menolak,” ujarnya, Jumat, 17 Mei 2019.

8 Negara Bagian Paling Religius di AS

Wanita yang akrab disapa Dona itu mengaku sangat terbuka bagi saran dan masukan jika rancangan peraturan disetujui untuk masuk program pembentukan Peraturan Daerah tahun 2020. Tetapi, katanya, DPRD terlalui jauh mengembangkan praduga sebelum Pemerintah menjelaskan gagasan dasarnya.

Jika judul ataupun konten rancangan peraturan itu dianggap tendensius, Dona menyarankan, pada dasarnya bisa diubah atau dikoreksi. Maka di situlah pentingnya Pemerintah menjelaskan secara memadai.

Mengenal Margonda, Pejuang Depok yang Gugur di Usia Muda

PDIP menolak

DPRD Kota Depok menolak Raperda inisiatif Pemerintah Kota tentang Penyelenggaraan Kota Religius. Salah satu suara yang cukup vokal menolak hal itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Menurut Ketua DPRD Kota Depok Hendrik Tangke Allo, raperda itu resmi ditolak Bamus DPRD untuk masuk dalam daftar Program Legislasi Daerah. Maka segala jenis pembahasan mengenai raperda ini tidak lagi dimungkinkan untuk dilakukan di setiap alat kelengkapan Dewan.

Hendrik menjelaskan, banyak pertimbangan menolak rancangan Perda yang diprakarsai oleh Wali Kota Mohammad Idris. Menurutnya, itu adalah ranah pemerintah pusat dan bukan kewenangan daerah. Ini merujuk pada Undang-Undang 23 tahun 2014 yang bersifat absolut.

“Kalau kita bicara agama maka kewenangan itu bukan milik pemerintah daerah tapi kewenangan pemerintah pusat. Karena kaitannya dengan pertahanan keamanan, fiskal, moneter, kemudian ada beberapa lagi. Sehingga pemerintah daerah tak memiliki hak untuk membahas itu,” katanya saat dikonfirmasi.

Alasan tak kalah penting karena religiusitas adalah hal yang bersifat sangat pribadi, berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Maka bukan kewenangan kota untuk mengatur kadar religiusitas warganya.

“Perda PKR memiliki potensi diskriminatif baik terhadap umat beragama dan terhadap kaum perempuan. Perda ini juga memiliki kecenderungan untuk mengkotak-kotakkan warga Kota Depok yang sangat plural (majemuk),” katanya.

Dalam hal perilaku warga, kata Hendrik, Pemkot Depok bisa membuat aturan dalam kerangka ketertiban umum dan kemaslahatan kehidupan bersama, bukan dalam kerangka pahala dan dosa atau surga dan neraka. 

“Intinya kami menghindari konflik antarumat beragama. Maka peran pemerintah mereka harus tampil, bagaimana semangat kebangsaan toleransi di Kota Depok ini bisa terjaga di tengah pluralisme yang begitu besar. Ini bisa menimbulkan diskriminasi terhadap keberagaman pemeluk agama dan itu tidak boleh,” ujarnya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya