Raperda Wajib Punya Garasi, Dishub Depok: Sanksi Rp20 Juta Baru Konsep

Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok Dadang Wihana
Sumber :
  • VIVA/Zahrul Darmawan

VIVA – Rancangan peraturan daerah (raperda) terkait kewajiban memiliki garasi bagi pemilik mobil di Kota Depok menuai kontroversi. 

Tim Saber Pungli Depok Beraksi, Amankan 4 Orang dari Terminal Depok

Selain terkesan dipaksakan, denda yang bakal menjerat pelanggarnya sebesar Rp20 juta itu dianggap sangat memberatkan.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Depok, Dadang Wihana angkat bicara. Ia menjelaskan, raperda itu masih dalam tahap pembahasan. Ia menegaskan, raperda itu dibuat semata-mata berdasarkan banyaknya keluhan masyarakat.

Mengenal Margonda, Pejuang Depok yang Gugur di Usia Muda

“Satu hal yang perlu kami jelaskan kembali terkait dengan raperda penyelenggaraan perhubungan. Di sini pemerintah hadir untuk memberikan pengaturan di tengah aspirasi masyarakat,” katanya kepada wartawan, Senin, 29 Juli 2019.

Adapun aspirasi tersebut, yaitu banyaknya masyarakat yang merasa terganggu ketika ada mobil yang parkir di ruang jalan, terutama di daerah permukiman.

Massa PKS Hari Ini Gerudug KPU Depok Tuntut Usut Dugaan Penggelembungan Suara Caleg DPR RI

“Dari situ kami coba mengelaborasi aspirasi warga dan kami coba rumuskan di dalam perubahan perda penyelenggara perhubungan. Jadi memang betul dalam raperda itu ada satu pasal yang terkait dengan kepemilikan garasi,” ujarnya.

Raperda itu, kata Dadang, telah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) Kota Depok sejak November 2019.

“Filosofinya adalah untuk menjamin keteraturan di tengah masyarakat. Ini berlaku di semua wilayah, terutama di permukiman atau ruang umum seperti jalan fasos-fasum (fasilitas sosial dan fasilitas umum). Itu adalah ruang publik,” katanya.

Terkait dengan hal itu, lanjut Dadang, pihaknya sampai saat ini masih menyusun mekanisme yang akan diberlakukan, termasuk poin-poin yang mengatur sanksi.

“Sanksi Rp20 juta itu maksimal dan baru sebatas konsep. Tentunya bukan sesuatu yang absolut atau saklek. Bisa jadi nanti minimal Rp500 ribu atau paling besar Rp2,5 juta. Nah ini kan baru rancangan, baru usulan. Kita pun mempertimbangkan kembali," tuturnya.

Intinya, menurut Dadang, ada proses-proses edukasi dan hal itu tidak langsung diberlakukan. “Mungkin di tahun ketiganya baru ada punishment. Tolong ini dimaknai positif bukan untuk memberatkan tapi untuk kepentingan publik dan pemerintah hadir untuk mengatur ketika ada ketidakaturan di tengah masyarakat," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya