Cikal Bakal Rumah Pelacuran di Jakarta

Ilustrasi pesta kelab malam diskotik
Sumber :
  • iStock
VIVA.co.id
Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol
- Di depan Stasiun Kota Jakarta (Beos), Jalan Mangga Dua, terdapat dua bangunan bertingkat yang memiliki banyak jendela. Gedung berarsitektur Indis itu terlihat kusam dan tua. Namun seperti gedung jaman Hindia Belanda lainnya, masih kokoh menjulang langit.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Sedangkan di sebelah gedung itu terdapat kelenteng bercat merah menyala. Meski telah berubah menjadi kelenteng, namun di beberapa bagian masih nampak ciri khas desain Hindia Belanda. Tapi deretan gedung di sebelahnya sama sekali sudah tidak terlihat lagi ciri desain Indis.

Memang kini kondisi gedung-gedung itu centang perenang, tak karuan lagi. Namun beberapa abad yang lalu, gedung ini menjadi tempat berkunjung petinggi-petinggi Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) dan pejabat pemerintah Hindia Belanda. Dulu suasana di gedung itu pun sangat meriah, banyak orang berdansa, diselingi suara tertawa cekikikan. Tentu saja tak terlewat bau minuman keras.

Gedung apa sebenarnya? Di sinilah dulu cikal bakal pelacuran di Batavia.

"Rumah bordil itu dikenal dengan nama Macao Po," kata Ridwan Saidi, sejarahwan Betawi saat ditemui di rumahnya di Bintaro, beberapa saat yang lalu.

Pelacuran memang sudah merajalela sejak awal berdirinya Kota Batavia. Akibat kurangnya jumlah wanita eropa, maka pelacuran merebak. Pada masa VOC-lah dikenal pelacuran akibat banyaknya para pendatang dari Eropa maupun China tanpa istri.

Orang Betawi sendiri pada awalnya tidak mengenal istilah pelacur yang kemudian dilunakkan sebutannya jadi Wanita Tuna Susila (WTS) dan kini lebih diperlunak lagi jadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Orang Betawi menyebutnya dengan cabo yang merupakan adaptasi dari bahasa China, caibo dan moler berasal dari bahasa Portugis.

Seperti Mangga Besar yang berdekatan Glodok sekarang, sejak dulu tempat operasi WTS selalu dekat dengan kawasan niaga dan perhotelan. Tempat konsentrasi pelacur pertama di Batavia adalah Macao Po yang kala itu berdekatan dengan hotel-hotel di depan Stasion Beos (Jakarta Kota).

Disebut demikian, karena para pekerjanya didatangkan dari Macao oleh jaringan germo Portugis dan China untuk menghibur warga Belanda di Binnestadt, sekitar Kota Inten, di terminal angkutan umum Jakarta Kota sekarang.

Pada abad ke-17 itu para taipan atau orang berduit keturunan China juga mencari hiburan di Macao Po.

Di dekat Macao Po, masih di kawasan Glodok, terdapat pelacuran kelas rendah Gang Mangga. Sayang, kini Gang Mangga tidak diketahui lagi keberadaannya.

"Saya menduga Jalan Mangga Dua yang sekarang itulah Gang Mangga. Bekas-bekas banguan rumah bordil masih tersisa beberapa biji. Di perkampungan di belakang gereja Sion, masih terdapat beberapa rumah bekas rumah bordil," kata Ridwan.

Nama Gang Mangga sangat popular, sehingga jika kena penyakit kelaminĀ  disebut 'sakit mangga'. Kemudian dikenal dengan sebutan raja singa atau sifilis. Di abad ke-19, sifilis termasuk penyakit yang sulit disembuhkan karena saat itu belum ditemukan antibiotik.

Kompleks pelacuran Gang Mangga ini kemudian tersaingi oleh rumah-rumah bordil yang didirikan orang Cina yang disebut Soehian. Kompleks pelacuran macam ini kemudian menyebar ke seluruh Betawi.

Karena sering terjadi keributan, pada awal abad ke-20 Soehian ditutup. Tapi kata Soehian tidak pernah hilang dalam dialek Betawi untuk menunjukkan kata sial. Dasar suwean, sialan.

Laporan Dody Handoko

Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia
![vivamore=" Baca Juga
:"]

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya