Darut Tasbih, Pesantren Rehabilitasi Orang Gila

Darut Tasbih, Pesantren Rehabilitasi Orang Gila
Sumber :
  • Dody Handoko/Tangerang
VIVA.co.id
Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol
- Pesantren Darut Tasbih, Desa Gelam Jaya, Pasar Kemis, Tangerang, Banten, adalah pesantren untuk merehabilitasi mental untuk orang yang mengalami gangguan jiwa. Kompleks pesantren yang berdiri atas lahan satu hektare lebih itu diasuh KH Rafiudin.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Pertama masuk pelataran pesantren Darut Tasbih, akan disuguhi pemandangan yang teduh dengan halaman yang luas. Selanjutnya ketika memasuki areal aula, terlihat hamparan lantai yang luas; tertata rapi dan sama sekali tidak mengesankan ada orang-orang yang mengalami gangguan jiwa.

Terus beranjak ke halaman belakang, akan dijumpai taman yang asri dan teduh. Namun, di balik keteduhan tersebut terselip tanda tanya, karena pasti akan menjumpai remaja tanggung yang tengah bersih-bersih halaman dengan tangan diikat rantai menyatu dengan salah satu temannya.

Jika beranjak lagi ke sebelah kiri aula, terlihat bangunan panjang dengan deretan kamar dan dilindungi jeruji besi. Di sinilah santri-santri yang mengalami gangguan mental itu berdiam. Walau ruangan itu merupakan kamar orang-orang gila, tetap terlihat bersih.

Ketika mengunjungi pesantren, berbarengan dengan jam makan sore, tampak seorang petugas datang membawa tampah berisi beberapa piring nasi lengkap dengan lauk dan sayurnya untuk makanan para santri gila itu. Sebelum mereka makan, pengasuh pesantren masuk ke ruangan memberi pengarahan dan melakukan terapi, beberapa saat kemudian mereka pun makan bersama.

Mengamati mereka makan bersama, terlihat sangat menakjubkan. Walau pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang mengalami gangguan jiwa, ada yang baru dan juga ada yang hampir sembuh, mereka terlihat seperti tiada beban dan mengesankan penuh persaudaraan satu sama lain.

Beberapa waktu berlalu, waktu magrib pun tiba yang ditandai dengan kumandang azan. Alunan azan tersebut sangat merdu, sang pengasuh mengatakan, “Mungkin Anda tidak mengira, kalau yang azan itu adalah bekas orang gila.”

Bersamaan dengan kumandang azan, santri-santri gila yang sebelumnya berada dalam kamar yang terkerangkeng itu, berhamburan ke tempat wudlu. Mereka pun berwudlu, lalu bergegas ke musala untuk melafalkan kalimat-kalimat zikir menjelang salat magrib.

Selanjutnya, santri-santri gila itu berbaur dengan santri yang waras dan para ustaznya untuk melaksanakan salat magrib berjamaah. Ketika melihat penampilan mereka saat melaksanakan salat magrib berjamaah, maka sama sekali tidak terlihat seperti orang tak waras. Kendati demikian, ada beberapa orang santri gila yang di pergelangan tangannya masih dibelenggu rantai dan disambungkan dengan pergelangan seorang temannya.

Usai melaksanakan salat dan berzikir, sang pengasuh memberikan tausiyah yang intinya adalah bimbingan rohani. Santri yang masih gila atau santri yang sudah waras, mendengarkan wejangan kiainya dengan khidmat.

Usai mendengarkan wejangan sang pengasuh, mereka menunaikan salat sunat setelah magrib. Sambil menunggu datang waktu salat isya, sebagian besar mereka tak beranjak dari musala. Ada yang sekadar duduk-duduk, ada yang berzikir, dan ada yang membaca Alquran. Melihat aktivitas dan penampilan mereka yang seperti itu, sama sekali tidak mengesankan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengalami gangguan mental.

Menurut KH Rafiudin, yang datang ke pesantrennya memang mereka yang punya masalah dengan kejiwaan. Mereka yang mencari kesembuhan lewat terapi agamis di pesantrennya, terdiri dari tiga kategori.

Pertama, mengalami gangguan kejiwaan karena stres, kedua karena narkoba, dan ketiga karena gangguan mahluk halus jin. Dari tiga ketegori itu yang menempati peringkat pertama adalah gangguan mental karena stres. (one)

![vivamore="
Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia
Baca Juga :"]



[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya