Tradisi Betawi Saat Bangun Rumah Agar Tak Dimasuki Hantu

Bentuk rumah Betawi di Setu Babakan.
Sumber :
  • FOTO: VIVA.co.id/Dody Handoko

VIVA.co.id - Di kawasan Jakarta Selatan, tepatnya di Setu Babakan, Kecamatan Jagakarsa terdapat Perkampungan Budaya Betawi. Oleh pemerintah DKI Jakarta, wilayah ini dijadikan Cagar Budaya Betawi. Di sana, dapat disaksikan kesenian dan budaya Betawi. Salah satunya yang masih dapat ditemui adalah rumah adat Betawi.
 
Di perkampungan Setu Babakan saat ini sudah ada 75 rumah Betawi yang dibangun di tanah seluas 200 hektare. Nantinya, akan dibangun kembali sebanyak 300 rumah tambahan.

Dalam tradisi Betawi, membangun rumah adalah pekerjaan yang penting. Maka dibutuhkan beberapa persyaratan. Selain syarat dana yang cukup, terdapat syarat lain berupa perhitungan yang berporos pada alam gaib.
 
Perhitungan ini dilakukan oleh orang “pintar”, yaitu seorang Kiai yang salah satu bidang keahliannya adalah ilmu falak. Dengan ilmu yang milikinya, Kiai ini akan memberi nasehat. Hal-hal yang dihitung adalah lahan tempat pembangunan, arah rumah dan mulainya pembangunan.
 
Arah rumah di beberapa daerah Betawi biasanya dihubungkan dengan keberadaan naga besar. Pada dasarnya bagi orang Betawi, rumah dapat dibangun dimana saja asal lahan itu miliknya. Namun ada tradisi untuk menghindari membangun pada lahan tertentu. Tidak boleh membangun rumah di atas tanah yang dikeramatkan dan tidak boleh membangun rumah untuk anak di sebelah kiri rumah orangtua.
 
“Jika tradisi ini dilanggar maka keluarga yang menempati rumah akan terus menerus kekeringan, susah rezeki atau sakit-sakitan,” kata Indra Sutrisna, anggota tim Perkampungan Betawi ketika ditemui VIVA.co.id, di Setu Babakan.
 
Jika perhitungan selesai, maka direncanakan dan dilaksanakan upacara pra-pembangunan. Langkah awal yakni mengumpulkan sanak saudara untuk bermusyawarah membicarakan pembangunan dan jenis rumah yang akan dibangun.

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol

Tradisi unik

Tradisi Betawi mengenal tiga jenis rumah yaitu Gudang, Joglo dan Bapang. Sanak-saudara diharap dapat membantu meringankan beban biaya. Dengan pertemuan itu diketahui apa saja yang sudah tersedia dan segala sesuatu yang harus dipersiapkan.
 
Dahulu, pertemuan seperti itu disebut andilan dan di antara mereka akan menyanggupi membantu sesuai dengan kemampuannya. Ada yang memberikan pohon yang ada di kebunnya untuk dijadikan tiang atau papan. Artinya pohon itu nantinya akan ditebang dan dijadikan bahan bangunan.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Ada pula yang membantu menyediakan genteng dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa sifat musyawarah dan gotong-royong sudah sangat mendarah daging bagi masyarakat Betawi.
 
Setelah hari pembangunan ditentukan, maka lahan itu diukur lalu diuruk untuk menambah ketinggiannya.

Kegiatan ini disebut membuat batur atau baturan. Sementara itu ahli bangunan yang disebut tukang sudah memulai kerjanya membuat tiang guru, pondasi, kuda-kuda, pengeret, penglari, papan nok, kaso,
ander, siku, ragam hias dan lainnya.

“Beberapa jenis pohon atau kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan dalam tradisi Betawi telah dimaknai atau ditamsilkan sesuai dengan hubungan timbal balik manusia dengan alam,” urai Indra.
 
Bahan bangunan dari kayu biasanya dari pohon buah-buahan yang sudah tua dan tidak produktif lagi. Pohon itu antara lain nangka, duren, kecapi, jamblang, cempaka, jengkol, dsb. Jenis kayu nangka karena warnanya kuning, tidak boleh digunakan membuat drompol (bagian bawah kusen pintu atau bagian bawah lainnya). Jika kayu ini dilangkahi akan mengakibatkan sakit kuning.

Kayu nangka utamanya digunakan sebagai tiang guru, dinding rumah dan pintu panel berukir. Komposisi kayu nangka dan kayu jamblang akan jauh lebih indah jika diambil bagian paling tengahnya.

Jenis kayu cempaka sebaiknya dipakai untuk kusen pintu bagian atas. Ini mempunyai makna tertentu yaitu agar pemilik rumah senantiasa dihormati dan disenangi tetangga. Sedangkan jenis kayu asem dipantang digunakan sebagai bahan bangunan. Sifat asem ditafsirkan akan memengaruhi harmonisasi antara pemilik rumah dengan tetangganya. Jika memakai kayu asem, rumah berkesan kumal, gersang dan tidak berwibawa.
 
Agar kayu yang digunakan dapat awet atau tahan lama maka kebiasaan orang Betawi merendam kayu-kayu itu di empang atau di comberan. Perendaman kayu paling cepat satu bulan, direndam lebih lama akan lebih bagus kualitasnya.

Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia

Selanjutnya --->>> Garam tolak Hantu



Garam tolak hantu
 
Setelah selesai membuat pondasi, disiapkan lima bate (batang) garam. Empat batang garam diletakkan di tiap pojok tanah dan yang sebate lagi diletakkan di tengah-tengah. Menurut adat Betawi, garam itu
ditakuti oleh mahluk halus, seperti jin, setan, kuntilanak, longga-longga, kolong wewe, dll.
 
Pada saat memasang umpak batu sebagai alas guru, sebelum tiang guru didirikan, di atas umpak batu diletakkan uang ringgitan, perakan atau gobangan. Ini dimaksudkan agar kehidupan pemilik rumah
nantinya akan murah rezeki dan makmur. Dan nanti setelah rangka bangunan berdiri, sebelum memasang kaso di tiang ander diikatkan sepandan pisang raja, sependan kelapa, sedapur tebu dan dikibarkan
bendera merah putih.
 
“Di wilayah tertentu ada juga yang selamatan dengan membuat bubur merah putih dan bubur itu diplengsong (dibungkus) kemudian diletakkan di tiap tiang guru. Ini diyakini sebagai sesajen agar orang alus tidak mengganggu penghuni rumah,” kata Indra lagi menjelaskan.

Bentuk sederhana
 
Dahulu, orang Betawi membuat rumah sangat sederhana. Bahan bangunan didominasi dari bambu. Jika bangunan rumah hendak dipindahkan ke lahan lain, cukup digotong oleh beberapa orang tetangga yang dengan sukarela akan membantu kerja bakti. Rumah yang dibuat dari kayu pun dapat dipindahkan dengan cara yang sama, namun harus nyambat (meminta bantuan) tetangga lebih banyak lagi.
 
Pembagian rumahnya tidak berbelit-belit yaitu ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Ruang tamu sering pula cuma di beranda. Ruang keluarga sama dengan ruang tengah. Kamar tidur yang disebut pangkeng terdiri dari dua sampai tiga kamar sebagai kamar tidur orang tua, anak perempuan dan anak laki-laki.
 
Menurut tradisi betawi, rumah yang belum dipasangi jendela dan pintu pantang untuk dihuni. Bahkan pemiliknya juga belum boleh menginap jika rumahnya belum sempurna. Pekerjaan terakhir adalah memasang ragam hias, apakah itu gigi baling, pucuk rebung dan lainnya.
 
Lalu disempurnakan lagi dengan memasang dekorasi interior dan eksterior, antara lain memasang kaligrafi (jenis lukisan kaca) berbunyi Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Bismillah atau dua kalimat syahadat di kusen pintu masuk utama. Di dinding luar depan dekat jendela dipasang kapstok yang berhiasan lukisan kaca atau kaligrafi dipasang di dinding bagian dalam.
 
Jika tidak dipasang kaligarafi, dipasang juga ditempat yang sama yaitu gambar buraq. Kendaraan yang digunakan Rasulullah pada saat melakukan Israj Miraj. Buraq ini dalam deskripsi orang Betawi sebagai gambar kuda putih mulus dengan wajah perempuan cantik jelita dan bersayap keemasan.
 
Kenapa digambarkan sedemikian rupa? Buraq itu suatu kendaraan yang berjalan sangat cepat maka digambarkan seperti kuda. Dia juga bisa terbang, maka digambarkan bersayap kokoh indah. Dan dia juga
dapat berbicara dengan lemah lembut, maka digambarkan berwajah wanita cantik jelita.

Buraq ini dalam bahasa syariatnya adalah kendaraan yang amat cepat, tidak mudah dipantau saking cepatnya. Bila rumah benar-benar telah selesai, pemilik rumah mengadakan selamatan rumah baru. Tetangga yang diundang khususnya yang membantu kerja bakti membangun rumah.

Tujuan selamatan sebagai ungkapan dan ucapan terima kasih kepada semua yang membantu dan memohon keselamatan kepada Allah.

![vivamore="Baca Juga :"]

[/vivamore]

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya