Mengenal Peninggalan Orang Arab di Kampung Pekojan

Langgar Tinggi di Kampung Pekojan.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Dody Handoko

VIVA.co.id - Dari dua tiang bulat besar beranda lantai dua Langgar Tinggi di Jalan Raya Pekojan, Tambora, Jakarta Barat, menghadap ke Kali Angke terhampar pemandangan hiruk-pikuk kota lama Jakarta.

Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol


 
Dahulu banyak perahu dan rakit dari Tangerang menyusur Kali Cisadane masuk Kali Angke membawa bahan bangunan, kain, rempah-rempah, duren, nangka, dan kelapa, menuju pusat kota lama. Sebelum masuk kota, perahu dan rakit-rakit itu biasanya sandar di belakang langgar.

"Kali masih bersih dan dalam," kata Budayawan Betawi, Ridwan Saidi.
 
Langgar yang dibangun tahun 1833 atau 1249 Hijriah ini ada di tepi Kali Angke. Luas lantai dasarnya 8 meter x 24 meter. Lantai atas digunakan sebagai masjid. Sebagian lantai bawah, dulu, digunakan sebagai penginapan para pedagang yang mondar-mandir dengan perahu dan rakit. Sebagian lagi dijadikan tempat tinggal pengurus masjid.
 
Kini, seluruh lantai bawah digunakan untuk toko perangkat salat, termasuk tasbih, buku-buku agama, serta minyak wangi khas Timur Tengah dan India. Ada minyak misik, minyak buhur, sampai minyak ular.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Langgar ini memiliki unsur arsitektur Eropa klasik, seperti tampak pada tiang-tiangnya, unsur China pada penyangga balok-balok kayunya, dan Jawa pada denah dasarnya. Menurut Adolf Heuken SJ dalam bukunya, Masjid-Masjid Tua di Jakarta (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 2003), langgar didirikan di salah satu tanah wakaf Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi.

Warga Pekojan, Ahmad. A, menambahkan, langgar didirikan oleh Abu Bakar, pria asal Yaman.

Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia

"Saya adalah anak Alwi bin Abdurrahman, bin Segaff, bin Husain, bin Abu Bakar," tuturnya.
 
Dulu, menurut cerita yang diwariskan para pendahulu, ada empat pesta tahunan nan semarak di langgar. Pertama pesta khitanan bagi anak yatim piatu. Pesta ini diselenggarakan sehabis Lebaran di bulan Sapar. Berikutnya pesta mauludan, disusul pesta mikrajan, dan pesta khatam Al Quran.
 
Ketika pesta tiba, warga sekitar - Arab , India, Jawa, Bali, Tionghoa, Muslim dan nonMuslim - bersama-sama mengumpulkan bantuan untuk membiayai hajatan besar itu.

"Anak-anak yang dikhitan rata-rata cuma 20-an, tetapi yang datang ke pesta jauh lebih banyak dan meriah," tuturnya.
 
Berikutnya pesta mauludan. Inilah pestanya para pria. Tak heran bila pestanya pun sampai tengah malam. Di depan langgar didirikan panggung yang dihias janur, bunga kertas khas Betawi, dan lampion di sana-sini.
 
"Minyak lampionnya minyak kelapa bercampur minyak tanah. Kaum lelakinya memakai sarung madraz—sarung kotak-kotak warna coklat cerah—berkopiah, dan baju koko putih. Alas kakinya terompah," tutur Ahmad mengenang.
 
Pesta berlangsung sehabis magrib. Penganan yang disuguhkan adalah kue pepe, pastel, dan apem. Minumannya teh tawar dan teh manis. Pesta didominasi lantunan kasidah barzanji, mengisahkan riwayat Nabi Muhammad Saw.
 
Dalam pesta mikrajan, giliran kaum perempuan yang pegang peran. Acara berlangsung pukul 09.00-12.00.

"Mereka memakai kebaya encim-encim dan kerudung warna putih dengan bawahan kain batik Betawi," papar Assegaff.

Pesta juga didominasi lantunan tadarusan. "Ceritanya tentang perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, lalu ke Betlehem, sebelum naik ke langit ke tujuh," lanjutnya.
 
Sajian makan siangnya nasi ulam, tempe goreng, emping, sayur semur dengan ikan bandeng pesmol, bandeng acar kuning.
 
Terakhir adalah pesta khatam Al Quran anak-anak yang umumnya berlangsung dua jam. Setelah shalat isya, mereka salawatan atau kasidahan, lalu dilanjutkan tarawih. Setiap delapan rakaat, anak-anak berkasidahan. Berdoa untuk kedua orangtua, membaca fusul, lalu ditutup dengan tadarusan.
 
Hidangannya bubur gandum surba (havermut) bumbu gulai dengan tebaran daging kambing halus yang direbus. Makanan ringannya kurma, rambutan, nangka, duren, dan mangga.

"Tergantung musim buahnya, tetapi anak-anak umumnya lebih suka nangka dan duren. Minumannya kopi jahe campur susu," ujarnya.
 
Mengutip penjelasan para pendahulunya, ia mengatakan, di luar acara ritual, pesta diikuti orang non-Muslim juga.

"Pada giliran pesta Pekcun dan Capgomeh-nya orang China, yang Muslim ganti ikutan pada berebut terima angpau. Pesta biasanya berlangsung di tepi kali Angke. Yang Muslim biasanya lebih suka nonton dari lantai dua langgar karena bisa tiduran di langgar," tuturnya.

![vivamore="
Baca Juga
:"]

[/vivamore]
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya