Kapolda Metro Bicara Solusi Kemacetan Ibu Kota

Komisaris Jenderal Tito Karnavian
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA.co.id - Jakarta sebagai ibu kota negara memang dijadikan pusat perekonomian nasional. Banyaknya masyarakat di Jakarta untuk mengadu nasib membuat ibu kota diselimuti kemacetan.

Hujan Perparah Kemacetan di Jakarta Pagi Ini

Berbicara kemacetan di Jakarta memang merupakan masalah yang kompleks dan tak kunjung mendapatkan solusinya. Setidaknya ada beberapa faktor yang menjadi penyebab Jakarta menjadi salah satu kota terpadat dan termacet di dunia.

Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian menyebut beberapa faktor menjadikan Jakarta selalu diselimuti kemacetan. Salah satunya adalah laju pertumbuhan kendaraan pribadi yang pesat, namun tidak diimbangi dengan laju pembangunan infrastruktur jalan dan permasalahan budaya masyarakat.
Ular Piton 5,5 Meter Melintas, Jalanan Jadi Macet

"Pertama, laju pertumbuhan kendaraan di Jakarta itu cepat sekali, 11 persen per tahun. Kedua, ini tidak sebanding dengan laju pertumbuhan infrastruktur jalan yang lamban, kurang dari 1 persen. Ketiga, adalah faktor budaya masyarakat yang kurang suportif kondusif dalam mematuhi aturan lalu lintas," kata Tito di Mapolda Metro Jaya, Rabu, 30 September 2015.
Hujan Guyur Jakarta Malam Ini, Kemacetan di Mana-mana

Dari tiga persoalan tersebut, mantan kapolda Papua tersebut menyebut kuncinya yaitu bagaimana memperlambat laju pertumbuhan kendaraan, terutama kendaraan pribadi dan membenahi angkutan publik serta mengubah budaya masyarakat.

"Ada beberapa cara untuk mengurangi pertumbuhan kendaraan pribadi, misalnya dengan memberikan disinsentif untuk kendaraan pribadi. Mulai dari harga (kendaraan pribadi) dimahalkan, dibuat sistem ERP (Electronic Road Pricing) dan pengurusan surat kendaraan yang dipersulit," ungkapnya.

Namun, Tito menilai, dengan membatasi kendaraan pribadi saja tidak akan efektif, selama transportasi publik belum memadai. "Problemanya daya beli masyarakat. Kalau sistem transportasi publik belum jalan, masyarakat akan marah (jika dibatasi kendaraan pribadi)," ucapnya.

Untuk pengurusan surat kendaraan yang dipersulit, Tito mengatakan, merupakan sesuatu yang sangat dilematis.

"Jika mempersulit pengurusan kendaraan seperti BPKB dan SIM juga timbul persoalan baru. Pajak kendaraan merupakan penyumbang PAD (Pendapatan Asli Daerah) tertinggi di Pemda DKI," kata dia.

"Pajak utama PAD-nya dari kendaraan bermotor itu sekitar Rp4 triliun per tahun. Tapi, jika membuka keran dan mempermudah akan menimbulkan kemacetan, karena memudahkan orang mendapatkan kendaraan, ini juga dilematis bagi pemerintah DKI," katanya.

Untuk itu, Tito meminta, pemda harus mencari alternatif sumber pajak untuk pendapatan asli daerah bukan dari kendaraan bermotor.

Solusi kedua, jenderal bintang dua ini juga menuturkan, Pemda DKI memberikan insentif bagi angkutan umum, LRT, kemudian TransJakarta. "Kendaraan publik ini kalau bisa dibuat banyak, tapi aman dan nyaman," ungkapnya.

Di samping itu, mantan kepala Densus meminta pemda membuat intermoda sistem TOD (Transit of Development), sehingga transportasi publik bisa terintegrasi.

"Otomatis masyarakat naik MRT berhenti di mana lalu menggunakan bus TransJakarta. Ini yang membuat masyarakat nyaman dan beralih ke kendaraan publik, bukan pribadi," ujar Tito.

Selain solusi di atas, pembatasan kendaraan pribadi tidak akan efektif selama pertumbuhan infrastruktur jalan masih kurang. "Memang semua harus berjalan secara paralel, kendaraan dibatasi tetapi infrastruktur harus ditambah," kata Tito.

Hanya saja, menurut dia, penambahan infrastruktur jalan ini juga masih terkendala beberapa hal. Salah satunya dengan keterbatasan lahan yang ada, sehingga pemerintah harus membebaskan lahan warga yang akan berdampak terhadap masalah sosial.

"Kalau membebaskan lahan warga pasti ada masalah sosial, contoh Kampung Pulo saja dibongkar sedikit saja, ributnya bukan main. Alternatif hanya lewat overpass atau underpass. Kalau berani, ya, yang ada di permukaan jalan dibebaskan. Ini perlu kerja sama semua pihak dan stakeholders," tuturnya.

Selain masalah tersebut, kemacetan di Jakarta juga disebabkan oleh budaya dan kultur masyarakat yang sering melanggar aturan lalu lintas. Namun, dengan dibuatnya sistem teknologi diharapkan masyarakat akan lebih tertib dalam berlalu lintas.

"Mulai dari membuat sistem yang memudahkan masyarakat seperti memantau arus kendaraan untuk mengetahui kemacetan ada di mana, CCTV diperbanyak," katanya.

Pengaturan lampu merah dengan menggunakan teknologi IT pun diyakini bisa mengubah kultur masyarakat yang tidak tertib.

"Elektronik IT untuk mengatur lampu merah. Kalau jalur padat, lampu merah dipercepat, kalau antrean pendek diperlambat lampu merahnya. Kemudian, menggunakan soft sosialisasi kampanye ke masyarakat untuk berkendara lebih tertib," tuturnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya