Kaleidoskop 2016

Heboh Ahok di 2016

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Sumber :
  • REUTERS/Darren Whiteside

VIVA.co.id – Sosok Basuki Tjahaja Purnama kerap menarik perhatian masyarakat. Gaya bicara ceplas ceplos dan tegas seakan menjadi ciri pria yang akrab disapa Ahok itu. Tak jarang, pernyataan dan kebijakannya sebagai Gubernur DKI Jakarta mengundang reaksi publik.

INFOGRAFIK: Kaleidoskop Peristiwa Besar Sepanjang 2023

Selama 2016 ini, lelaki kelahiran Belitung Timur, 29 Juni 1966 itu tercatat beberapa kali menyedot atensi khalayak. Di antaranya soal reklamasi pantai, pembelian lahan RS Sumber Waras, masalah sampah dengan Bekasi, ‘perang’ pernyataan, surat Al Maidah ayat 51.

Bahkan, pernyataannya terkait surat Al Maidah ayat 51, menimbulkan pro kontra tak hanya di Jakarta tapi juga di sejumlah daerah di Tanah Air. Calon Gubernur DKI Jakarta petahana itu diduga menistakan agama Islam saat mengutip salah satu surat dalam Alquran, ketika berdialog dengan masyarakat Kepulauan Seribu, 27 September 2016.

Kaleidoskop 2023: Pecah, Bentrok Warga dan Aparat di Pulau Rempang

Atas dugaan penistaan agama itu, aksi besar menuntut Ahok diproses hukum pun muncul. Dalam kasus ini, Ahok juga telah dibawa ke meja hijau. Saat ini, persidangan perkara tersebut tengah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Jaksa mendakwa Ahok dengan Pasal 156a atau Pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama.

Berikut ini beberapa kejadian yang menyedot perhatian publik terkait Ahok, sepanjang 2016:

Kaleidoskop 2023: Harga Bahan Pokok Melejit Bikin Daya Beli Rakyat Terjepit

Reklamasi Teluk Jakarta

Proyek reklamasi Teluk Jakarta digarap berlandaskan pada Keputusan Presiden(Keppres) RI Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Berdasarkan Keppres yang diterbitkan di era pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto itu, Ahok selaku Gubernur DKI, mengeluarkan izin-izin kepada pengembang untuk melakukan reklamasi.

Proyek itu lantas menimbulkan polemik. Sejumlah kalangan, di antaranya nelayan, menolak reklamasi itu lantaran dinilai merusak lingkungan dan mengganggu mata pencaharian nelayan.

Pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan moratorium reklamasi pada 18 April 2016. Namun kemudian, keputusan itu dicabut kembali pada 15 September 2016. Alasannya, antara lain karena proyek ini dibutuhkan untuk kepentingan Ibu Kota. Penurunan dataran tanah di Jakarta tiap tahun dinilai memerlukan sebuah tanggul raksasa (giant sea wall).

Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap sejumlah orang terkait kasus dugaan suap pembahasan dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Reklamasi, pada Maret 2016. Mereka yang saat itu ditangkap adalah anggota DPRD DKI Jakarta M Sanusi, Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja dan anak buahnya, Trinanda Prihantoro.

Mereka diduga memberikan suap hingga Rp2 miliar kepada Sanusi. Suap diduga diberikan terkait pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035, serta Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

Ahok sempat dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan kasus dugaan suap reklamasi itu, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Senin, 25 Juli 2016 dan 5 September 2016. 

Pembelian Lahan RS Sumber Waras

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Ahok dalam kasus dugaan penyimpangan pembelian lahan RS Sumber Waras, pada 12 April 2016.

Ahok diperiksa selama 12 jam. Usai diperiksa, Ahok memastikan proses pembelian lahan RS Sumber Waras dilakukan dengan mekanisme yang benar dan transparan. Lahan Yayasan Sumber Waras yang dibeli pun bukan lahan sengketa.

Penyelidikan KPK lantas menyebut pembelian lahan itu tak terindikasi adanya tindak pidana korupsi. Sedangkan BPK mendapati dugaan penyimpangan dalam pembelian 3,64 hektare lahan rumah sakit itu oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. 

Pembelian lahan tersebut memakai anggaran senilai Rp755,6 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) DKI 2014. Perhitungan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah yang digunakan pemerintah daerah, yakni Rp20,7 juta per meter persegi, dianggap tidak tepat. BPK pun menyatakan keuangan daerah dirugikan Rp191,3 miliar atas hal tersebut.

Pengelolaan Sampah

Pemprov DKI Jakarta tidak lagi bekerja sama dengan PT Godang Tua Jaya dalam pengelolaan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi. Pemprov DKI telah melayangkan surat peringatan ketiga (SP 3) pada 21 Juni 2016. 

Perusahaan itu diberi waktu 15 hari setelah SP 3 itu untuk memenuhi kewajibannya. Namun, hingga tenggat yang diberikan, mereka belum juga memenuhinya. Hingga akhirnya, Pemprov DKI memutus kontrak terbaru yang dibuat pada 2008 tersebut dengan PT Godang Tua Jaya.

Menurut Ahok, pemutusan kontrak itu lantaran perusahaan tersebut dinilai wanprestasi. Godang Tua disebut tak membangun incinerator atau mesin penghancur limbah sampah, dengan sistem terkontrol dan terisolasi dari lingkungan sekitarnya.

Usai kejadian ini, sekelompok orang sempat mengadang truk sampah DKI untuk masuk ke Bantar Gebang. Kemudian, pada 19 Juli 2016, Pemprov DKI mengambil alih pengelolaan sampah di Bantar Gebang.  
Setiap hari, sekitar 7.000 ton sampah Jakarta yang dibuang ke lahan seluas 108 hektare di Bantar Gebang. Kini, DKI mengelola sendiri sampahnya di sana.

‘Perang’ Pernyataan

Ahok terlibat perdebatan dengan sejumlah tokoh, di antaranya dengan pengacara Yusril Ihza Mahendra dan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana atau Haji Lulung.

Soal penggusuran kawasan Luar Batang, Jakarta Utara, misalnya. Yusril menjadi pengacara warga setempat. Lantas berembus isu Ahok tak hanya akan menggusur kawasan tersebut, tapi juga Masjid Luar Batang yang terdapat makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus. "Pak Yusril enggak usah pakai isu, bangkitkan fitnah, opini, saya mau gusur makam habib. Orang bisa ribut," ujar Ahok, 28 Maret 2016.

Pada kesempatan lain, Yusril menilai Ahok takut berdialog dengan warga Luar Batang yang akan digusurnya. "Kalau saya jadi gubernur, saya pasti datang karena itu kan rakyat kita sendiri," ujarnya, 8 April 2016.

Selanjutnya, pada 29 April 2016, Yusril menilai Ahok tidak ada apa-apanya. Hal itu dikatakan Yusril menanggapi kemenangan warga Bidara Cina yang menggugat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

"Ahok ternyata tidak berkutik setelah PTUN Jakarta memenangkan gugatan rakyat melawan dirinya yang sesumbar menantang akan menang di pengadilan," ujar Yusril, dalam keterangan persnya, Jumat, 29 April 2016.

Sementara itu, perseteruan Ahok dengan Haji Lulung, antara lain terjadi pada 28 Januari 2016. Usai menjadi saksi kasus dugaan korupsi pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) 25 SMA/SMK, Lulung menuding Ahok terlibat dalam kasus UPS itu. Pengungkapan kasus tersebut pun dinilai untuk pencitraan Ahok.

Ahok tak terima.  Dia menyebut  tudingan Lulung hanya sebagai senjata politik untuk menjatuhkannya. “Lulung itu kasihan lama jadi (anggota) DPRD. Banyak argumen yang menunjukkan dia enggak ngerti," ujar Ahok.

‘Perang’ lainnya terjadi pada 16 Februari 2016. Lulung curiga rencana penertiban kawasan Kalijodo oleh Ahok, merupakan upaya mengalihkan perhatian publik dari isu dugaan korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras.

"Ini ada apa dengan Kalijodo? Pengalihan isu Sumber Waras. Saya malah cepet-cepet ingin dia (Ahok) ditahan," kata Lulung.

Dugaan Penistaan Agama

Ahok dituding melakukan penistaan agama terkait dengan surat Al Maidah ayat 51. Hal itu diduga terjadi saat dia berdialog dengan masyarakat Kepulauan Seribu, 27 September 2016.

Buni Yani, warga Depok, Jawa Barat, terseret dalam pusaran kasus ini. Itu lantaran dia mengunggah video Ahok disertai dengan tulisan, di media sosial Facebook. Sejak itu, perkara tersebut terus menyedot perhatian publik.

Bahkan, sejumlah organisasi masyarakat (ormas) bereaksi dengan menggelar unjuk rasa besar-besaran. Mereka menggelar aksi pada 14 Oktober, 4 November dan 2 Desember 2016. Mereka menuntut agar pemerintah menegakkan hukum kasus Ahok itu.

Saat ini, perkara tersebut tengah bergulir di pengadilan. Jaksa penuntut umum mendakwa Ahok dengan dakwaan Pasal 156a atau Pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama. 

Sementara itu, Buni Yani, menjadi tersangka penyebar informasi kebencian lantaran mengunggah tulisan dan video rekaman Ahok itu. Polisi menyebutkan, kalimat yang dicantumkan Buni memang diambil dari video. Namun ditambahkan sendiri kata-kata olehnya. 

"Kalimat ini tidak ada di video dan ditambah dan menyebarkan informasi terkait rasa permusuhan dan kebencian berdasarkan Sara," ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya saat itu Komisaris Besar Polisi Awi Setiyono, 24 November 2016. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya