Perumus UU ITE Patahkan Kesaksian Roy Suryo

VIVAnews - Surat elektronik yang dikirim Prita Mulyasari tentang keluhannya terhadap Rumah Sakit Omni Internasinal Alam Sutera tidak melanggar etika Informasi dan Transaksi Elektronik. Surat yang dikirim ke 20 alamat email itu sifatnya pribadi.

"Jangankan 20 email, ratusan email juga wajar, karena itu sifatnya individual," kata Yasin Kara yang dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang, Rabu, 21 Oktober 2009.

Yasin merupakan mantan anggota DPR yang sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Pansus Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada 2005-2008 dan Ketua Panja Perumusan UU ITE. "Saya mau menjadi saksi karena tak ingin melihat ada penyalahgunaan UU ITE," ujarnya. 

Menurutnya, email Prita merupakan sebuah bentuk keluhan konsumen. Prita berhak berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan keluhannya. "Email itu milik pribadi, jika sampai tersebar itu tanggung jawab yang mem-forward," ujarnya.

Kesaksian Yasin itu sekaligus mematahkan kesaksian Roy Suryo pada persidangan pekan lalu. "Prita tak bisa dijerat pencemaran nama baik dengan UU ITE," kata Yasin.

Dalam persidangan Rabu pekan lalu, Roy yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh jaksa penuntut umum, terkesan menyudutkan Prita. Roy menilai email tentang RS Omni yang dikirim Prita kepada 20 alamat email rekannya sebagai hal tak wajar. Prita dinilai sengaja memiliki niat untuk menyebarkan emailnya ke khalayak luas. "Itu (mengirim email ke 20 alamat) bukan suatu yang wajar. Apa tujuannya kalau bukan untuk disebarkan," kata Roy.

Roy menambahkan, email yang dikirim Prita itu juga dikirim dengan standar dan kapasitas yang sama melalui menu 'To' bukan 'Cc'. "Kalau dikirimnya pakai 'Cc', secara etika penerima tak boleh memforward, tapi ini lewat 'To' semua," ujar Roy.

Niat Prita menyebarluaskan email, kata Roy, juga tercermin dalam redaksional di paragraf akhir tulisannya. "Dalam email ada niat dari Prita agar emailnya tersebar, terbukti dari tiga paragraf terakhir yaitu 'Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembacanya adalah karyawan atau dokter atau manajemen RS Omni'," kata Roy.

Rayakan Hari Batik, Anindya Bakrie: Kalo Pakai Batik Kegantengan Naik Berkali Lipat



Kisah Prita bermula saat ia memeriksakan kesehatannya di RS Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Hasil laboratorium menyatakan kadar trombositnya 27.000, jauh di bawah normal 200.000. Akibatnya ia harus menjalani rawat inap dan mendapat terapi sejumlah obat.

Setelah beberapa hari dirawat, kondisi Prita tak membaik. Saat keluarga meminta penjelasan, dokter malah menyampaikan revisi hasil tes trombosit dari 27.000 menjadi 181.000 tanpa memberikan lembar tertulis laboratorium. Dokter mengatakan Prita menderita demam berdarah.

Namun kesembuhan tak kunjung ia dapat. Lehernya malah bengkak. Maka ia memutuskan pindah rumah sakit. Di rumah sakit kedua, Prita ternyata didiagnosa menderita penyakit gondong bukan demam berdarah. Prita pun sembuh.

Atas kondisi itulah Prita merasa dirugikan RS Omni Internasional. Ibu dua anak itu kemudian menulis surat keluhan dan mengirim kepada sejumlah rekannya melalui email. Dalam waktu singkat email itu beredar luas di sejulah milis dan blog.

Surat itu pun terbaca manajemen RS Omni Internasional. Atas keluhan Prita, rumah sakit di kawasan Alam Sutera itu kemudian menyeret Prita ke jalur hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Prita dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman 1,4 tahun penjara, Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis dengan ancaman 4 tahun penjara, serta Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Prita yang terancam enam tahun penjara ditahan pada 13 Mei 2009. Namun tiga minggu kemudian hakim mengabulkan penangguhan penahanan Prita setelah muncul berbagai dukungan dari publik dan pejabat pemerintah. Hakim PN Tangerang juga menghentikan kasus Prita melalui putusan sela pada 25 Juni lalu. Namun, jaksa mengajukan banding atas keputusan tersebut dan terkabul.
 
Sementara pada Senin 8 Juli 2009, Komisi Kesehatan DPR merekomendasikan pencabutan izin Rumah Sakit Omni.

Laporan: Rukhyat Soheh| Tangerang

Sandiaga Uno Memiliki Seluruh Komponen Objektif yang Dibutuhkan Ganjar, Kata Elite PPP
Kereta Cepat Jakarta Bandung KCIC.

Media Asing Beritakan Kereta Cepat Indonesia, Sebut Sebagai Bagian Ambisi Xi Jinping

Indonesia telah meresmikan kereta cepat pertama, dengan proyek senilai US$7,3 miliar atau setara dengan Rp108,7 triliun, yang didukung oleh Tiongkok.

img_title
VIVA.co.id
2 Oktober 2023