Membunuh Demokrasi Lewat UU MD3, Ini Alasan DPR

Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Lilis Khalisotussurur

VIVA – Ketua Badan Legislasi, Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa tidak ada yang baru dalam Pasal 73 UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 yang baru disahkan. Pasal ini mengatur soal pemanggilan paksa dan tindakan sandera pada masyarakat atau badan hukum.

DPR Sahkan Revisi UU MD3 Soal Penambahan Pimpinan MPR

"Tak ada yang baru dalam posisi itu. Di UU nomor 17 (UU MD3 sebelumnya) sudah ada. Pemanggilan paksa sudah ada. Kenapa dulu itu tidak bisa dilaksakan," kata Supratman, saat dihubungi, Selasa 13 Februari 2018.

Ia menjelaskan, ada kejadian di Komisi III yang memanggil salah seorang gubernur di Indonesia. Lalu, saat dipanggil tiga kali berturut-turut tak hadir.

DPR dan Pemerintah Sepakat Revisi UU MD3

"Maka pimpinan DPR meminta Kepolisian memanggil yang bersangkutan secara paksa. Jawaban Pak Tito (Kaporli) pada rapat dulu bahwa UU MD3 belum secara jelas mengatur hukum acaranya," kata Supratman.

Ia menambahkan, tentunya pemanggilan paksa membutuhkan bantuan Kepolisian. Maka, DPR memasukkan hukum acaranya sesuai permintaan Kepolisian.

Fahri Hamzah: Pimpinan MPR Ditambah Sinyal Rekonsiliasi Jokowi

"Hukum acara sudah diatur secara jelas. Tetapi, lebih rinci akan diatur dalam peraturan Kepolisian. Jadi, bukan baru. Sudah ada," kata Supratman.

Adapun ayat yang diubah ditambah sebagai berikut:

Pasal 73 RUU MD3 Ayat (5) Panggilan Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat badan hukum dan atau warga masyarakat yang dipanggil paksa, dan.

b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan kepala Kepolisian daerah di tempat domisili badan hukum dan atau warga masyarakat yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Ayat (6) Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera badan hukum dan atau warga masyarakat untuk paling lama 30 hari.

Ayat (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan penyanderaaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya