Hakim Kritik Kemenag Lamban Tangani Kasus First Travel

Majelis hakim Pengadilan Negeri Depok menghadirkan beberapa pejabat Kemenag sebagai saksi dalam sidang perkara PT First Travel pada Senin, 9 April 2018.
Sumber :
  • VIVA/Zahrul Darmawan

VIVA – Seorang hakim di Pengadilan Negeri Depok, mengkritik pedas Kementerian Agama atas kasus penipuan umrah yang dilakukan tiga bos PT First Travel. Hakim menilai, Kemenag lamban dalam hal penindakan dan pengawasan.

Datangi Kejari Depok, Korban First Travel Minta Aset Segera Dikembalikan

Hakim menyatakan itu, setelah mendengar keterangan M. Arif, seorang saksi yang menjabat dalam bidang pengawasan umrah di Kemenag.

Arif menyebut, First Travel tidak pernah transparan dengan sistem pemasaran dan berulang kali mendapat peringatan atas laporan para korban.

Pengacara Sebut Ada Aset Bos First Travel yang Raib

“Jadi, pada waktu itu ada pengaduan dari jemaah Fisrt Travel, kemudian kami layangkan surat panggilan untuk melakukan klarifikasi pada November 2015. Saat itu, korban minta uang dikembalikan. Hasil pertemuan bisa diselesaikan. Artinya, dari pengaduan itu dipenuhi tuntutan jemaah,” katanya dalam persidangan.

Kemenag kembali mendapat pengaduan yang kali ini soal ketidaksesuaian pelayanan yang diberikan First Travel kepada jemaah. Kemenag pun kembali melayangkan surat panggilan dan yang datang saat itu adalah petugas bidang hukum, sehingga terbitlah surat peringatan pada April 2016.

First Travel Salahkan Negara karena Gagal Tunaikan Tuntutan Jemaah

Pada Maret 2017, Kemenag kembali mendapatkan aduan dari jemaah, karena terlantar di Bandara Soekarno Hatta.

“Kemudian, kami kirim tim untuk investigasi dan hasilnya melayangkan surat panggilan kepada pimpinan Fisrt Travel. Panggilan pertama 8 April, yang datang legal office. Kemudian, 18 April 2017, yang datang Pak Andika (Surahman) dan Anniesa (Hasibuan, [para terdakwa]).”

Karena merasa ada yang janggal, Kemenag pun akhirnya menindaklanjuti hal itu kepada Badan Reserse Kriminal Polri dan Otoritas Jasa Keuangan. “Kami sepakat membuka layanan aduan dan kami terlibat secara langsung dalam pelayanan tersebut,” katanya.

Namun, keterangan Arif itu dianggap sebagai sebuah sikap pasif Kemenag yang baru bertindak setelah ada laporan dan menjadi perhatian nasional sampai media massa memberitakannya habis-habisan.

“Yang saya tidak masuk akal, Kemenag baru bertindak karena ada laporan. Kalau sudah booming (ramai/heboh) baru bertindak, itu yang saya sayangkan. Padahal, ada masalah sejak tahun 2015,” kata Yulinda Trimurti Asih, seorang anggota majelis hakim.

“Jadi, yang saya lihat ini Menag sifatnya hanya pasif, hanya terima laporan. Ke depan, perlu terjun langsung ke lapangan, bukan dari laporan,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya