Pengebom di Surabaya Disebut Aktif Pengajian Antipemerintah

Petugas Penjinak Bom (Jibom) melakukan identifikasi ledakan di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Surabaya.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

VIVA – Dita Oepriarto, pria yang memimpin istri anak empat anaknya dalam peledakan bom bunuh diri di Surabaya, disebut cukup aktif dalam kelompok pengajian terbatas atau eksklusif.

On This Day: Teror Bom Surabaya Bikin Persebaya Geram

Seorang teman yang satu almamater SMA Negeri 5 Surabaya dengan Dita, Ahmad Faiz, mengungkapkan hal itu dalam program Indonesia Lawyers Club di tvOne pada Selasa malam, 15 Mei 2018.

Faiz mula-mula mengklarifikasi keterangannya di media sosial tentang hubungannya dengan Dita. Dia berterus terang memang tak pernah bertemu Dita di SMA Negeri 5 Surabaya. Soalnya Dita angkatan tahun 1991, sedangkan Faiz tahun 1995.

VIDEO: Korban Cacat akibat Bom Surabaya Tak Rela Eks ISIS Dipulangkan

Namun, kata Faiz, mereka sering bertemu dalam kelompok-kelompok pengajian terbatas hasil rekrutan pegiat Seksi Kerohanian Islam di SMA Negeri 5 Surabaya.

Faiz mengaku sempat direkrut dan sempat mengikuti beberapa kegiatan pengajian. Namun, tak lama setelah itu dia memutuskan keluar, karena tak cocok dengan ajaran mereka.

Polri Pamer Labfor Surabaya, Kasus Vanessa hingga Bom Diungkap di Situ

"Kita di-brainwash (dicuci otak): disebut, misalnya, pemerintah tagut (kafir/penyembah berhala), pemerintah tidak benar, dan lain-lain. Dita di lingkaran leader (kelompok pengajian) ini. Saya tahu pemimpin-pemimpin mereka," katanya.

Secara umum, menurut Faiz, anggota kelompok pengajian kecil dan eksklusif itu menganggap siapa pun di luar kelompok mereka adalah tagut. "Di luar mereka (adalah) kafir dzimmi (kafir yang tidak boleh dimusuhi), yang lain kafir harbi (kafir yang boleh diperangi)."

Dia mengoreksi juga pernyataannya yang disalahpahami banyak orang, seperti menyebut Dita adalah orang dalam pengajian itu yang menolak kegiatan upacara bendera Merah Putih. Sebenarnya, bukan Dita, melainkan anggota lain dalam kelompok pengajian itu.

"(dalam kelompok pengajian eksklusif itu) Ada Dita dan ada kakak kelas yang lain. Saya tidak pernah ketemu dengan Dita. Kita ketemu di pengajian. Tapi kelompok ini, yang di antaranya (kalau) diajak upacara bendera tidak mau, (menganggap) hormat bendera itu syirik, menyanyikan lagu kebangsaan itu bid'ah. Kelompok ini merekrutnya di sekolah, melalui SKI (Seksi Kerohanian Islam di SMA Negeri 5 Surabaya)," kata Faiz.

Diragukan

Sebagian keterangan Faiz diragukan kebenarannya oleh Jannes H Silitonga, teman seangkatan dengan Dita di SMA Negeri 5 Surabaya. Jannes mengaku cukup mengenal profil Dita selama mereka berinteraksi di sekolah pada 27 tahun lalu.

Menurut Jannes, Dita yang dikenalnya semasa SMA dahulu ialah anak yang tak neko-neko. Juga tak pernah diketahui bahwa Dita memiliki pemikiran radikal, misal, anti terhadap pemerintah karena diangga tagut.

Bahkan, katanya, Dita tak pernah sekali pun dipanggil oleh guru Bimbingan Penyuluhan di sekolah, satu indikasi bahwa Dita bukan murid bandel atau nakal.

"Dita yang kami kenal tidak ada yang pemikiran radikal, seperti dianggap teroris. Nilai sekolahnya memang tidak istimewa, tetapi Dita tidak pernah menolak upacara bendera," katanya.

Jannes mengaku tak mengetahui aktivitas Dita dalam kelompok pengajian terbatas itu, seperti diungkapkan Faiz. Namun, jika keterangan itu memang benar, tak sepatutnya juga digebyah-uyah bahwa Dita memanglah orang yang menganut paham antipemerintah.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya