Pakar: Negara Tak Berhak Nilai Kompetensi Ulama

Presiden Jokowi bersilaturahmi dengan para ulama, Kamis, 27 Juli 2017.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Agus Rahmat.

VIVA – Daftar 200 nama mubalig atau penceramah yang dirilis Kementerian Agama, berujung bola panas. Ada pihak yang menuding bahwa daftar tersebut hanya memecah belah ulama.

Kemenag Berikan Bantuan untuk Pendidikan Islam dan Pesantren: Simak Syarat dan Ketentuannya

Tak sedikit pula, ulama yang terdaftar namanya, meminta mundur atau dicoret dari daftar list, karena merasa tak pantas dengan kriteria yang dirilis Kemenag.

Dari daftar kriteria yang dirilis Kemenag, setidaknya para mubalih ini adalah mereka yang betul mumpuni dalam arti menguasai secara mendalam dan luas tentang substansi ajaran Islam, memiliki pengalaman yang cukup besar sebagai penceramah, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap kebangsaan.

Menag Sebut Sidang Isbat Ruang Dialog Umat Islam karena Menyangkut Banyak Pihak

Pakar hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin, tak memungkiri munculnya daftar nama mubalig ini berimplikasi pada tatanan kehidupan sosial keagamaan. Apalagi, Negara dan agama memang tidak bisa dipisahkan. Negara membutuhkan agama, begitu pula agama membutuhkan Negara.

Agama butuh Negara untuk sebuah proses pelembagaan kembali oleh Negara, begitu pula sebaliknya, Negara butuh ukuran-ukuran peradaban masyarakat untuk kemudian dilembagakannya dalam bentuk undang-undang yang salah satu sumbernya adalah nilai agama (pasal 28J ayat (2)  UUD 1945).

Presiden Jokowi: Selamat Idul Fitri 1445 H, Semoga Kita Bisa Saling Memaafkan

Dalam konteks rekomendasi 200 mubalig Kemenag, Irman memahami alasan Negara karena ada kebutuhan, agar nilai kebangsaan bisa diikutkan dalam setiap konten ceramah. Ini yang mungkin dirasakan kebutuhan riil Negara terhadap seluruh mubalig.

"Namun, cara menjadikan 200 nama mubalig menjadi rujukan oleh Kemenag, bukanlah cara yang tepat bagi Negara. Salah satu dasarnya bahwa tidak ada dasar bagi Negara untuk mengatakan bahwa para mubaligh ini berilmu paling tinggi, sehingga masuk dalam rujukan," kata Irman dalam keterangan persnya, Senin 21 Mei 2018.

Menurutnya, pemerintah tidak didesain untuk menilai ilmu warga Negara, siapa yang paling mumpuni dalam suatu bidang ilmu, bahkan dalam ilmu ketatanegaraan sekali pun, pemerintah tidak lebih mumpuni dari yang lainnya, apalagi dalam ilmu agama.  

"Oleh karenanya, alasan yang paling bijaksana adalah Negara butuh pertolongan sosialisasi nilai kebangsaan yang dibutuhkan melalui tausiyah-tausiyah getar jiwa dari para mubalig kita," ujarnya.

Irman menjelaskan, mekanisme ketatanegaraan sebenarnya sudah ada, namun bukan rekomendasi 200 mubalig, melainkan pemerintah bisa berhubungan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

MUI dihadirkan sebagai penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah, guna menyukseskan pembangunan nasional, termasuk di dalamnya nilai kebangsaan yang dikehendaki pemerintah.

"Biarkanlah MUI yang mengomunikasikan hal tersebut kepada para ulama, umaro, dan masyarakat dan bagaimana cara terbaik pelaksanaannya," ungkapnya.

Sebelumnya, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, menegaskan bahwa rilis 200 nama mubalig atau penceramah agama Islam itu dalam rangka memberi pelayanan atas pertanyaan masyarakat yang membutuhkan nama mubalig.

"Ini bukan seleksi, bukan akreditasi, apalagi standardisasi. Ini cara kami layani permintaan publik," kata Lukman dalam perbincangan di tvOne, Senin 21 Mei 2018.

Menurut Menag, daftar nama mubalig itu juga bukan dalam rangka memilah-milah penceramah. Rilis dibuat sesuai dengan usulan beberapa kalangan yang masuk ke Kemenag, dan akan terus di-update bagi para mubalig yang belum masuk.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya