Rocky Gerung Mencela Fenomena Politik: Demokrasi Kita Macet

Pemerhati politik Rocky Gerung dalam forum diskusi bertajuk Gerakan Rasional Indonesia di kota Padang, Sumatra Barat, pada Senin, 9 Juli 2018.
Sumber :
  • VIVA/Andri Mardiansyah

VIVA – Pemerhati politik Rocky Gerung mencela fenomena politik nasional akhir-akhir ini yang kian minim adu ide dan gagasan. Politik, katanya, belakangan malah berkembang seolah hanya angka-angka statistik seputar popularitas dan elektabilitas hasil riset lembaga survei.

Rocky Gerung: Mental Petarung Surya Paloh Lama-lama Mulai Mengalami Inflasi

Peneliti pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi dan Akademisi itu mencontohkan forum-forum diskusi seputar politik di Jakarta yang selalu hanya paparan nilai statistik popularitas dan elektabilitas. Diskusi mengenai politik yang lebih luas dari itu, terutama gagasan-gagasan baru tentang sistem politik dan pemerintahan atau kepemimpinan, nyaris tak ada lagi.

"Setiap kali kita masuk diskusi politik di Jakarta, selalu berkaitan dengan elektabilitas, sesuatu yang kuantitatif," kata Rocky dalam forum diskusi bertajuk Gerakan Rasional Indonesia di kota Padang, Sumatra Barat, pada Senin, 9 Juli 2018.

Dian Sastrowardoyo Ungkap Pengalaman Jadi Murid Rocky Gerung: Itu Nightmare Gue!

Masyarakat, kata Rocky, kini dipaksa untuk melihat angka popularitas dan elektabilitas itu alih-alih diajak untuk melihat nilai dan gagasan politik. Maka, tidak heran jika sekarang banyak yang buta huruf terhadap ide dan gagasan. Padahal politik itu sebetulnya berkaitan dengan ide serta gagasan, bukan semata bicara soal angka.

Rocky menjelaskan, di Athena dahulu pada awal sejarah demokrasi kira-kira 400 sebelum masehi, anggota parlemen tidak dipilih melainkan diundi. Sistem itu dipakai atas dasar pemikiran bahwa setiap orang mampu mewakili tetangganya. Setiap warga negara akal pikirannya setara dan kekayaannya setara.

Tak Pandang Bulu, Dian Sastrowardoyo Kena Semprot Rocky Gerung saat Bimbingan Tugas Akhir

Setara dalam Pikiran

Demokrasi awal, ujarnya, tidak ada persaingan politik karena setiap orang dianggap setara dalam pikiran. Kata politik sama dengan keadilan. Sejak awal sejarah demokrasi, orang-orang mendistribusikan keadilan dengan akal. Sebab demokrasi bukanlah pemerintahan dari-oleh-untuk rakyat melainkan pemerintahan akal melalui pemerintahan orang.

"Nah, dalam arti kita, politik itu adalah pemerintahan uang oleh pemerintahan orang. Pemerintahan arogansi oleh pemerintahan orang. Itu kenapa kemudian demokrasi kita macet, lantaran kita kekurangan akal; karena pusat akal tak mampu lagi menghasilkan argumen," ujarnya.

Satu di antara penyebab kemandekan diskursus tentang politik itu ialah kemerosotan dunia akademik di kampus atau perguruan tinggi. Menurutnya, kampus sudah dipangkas oleh birokrasi sehingga akal pun mengalami birokratisasi. Padahal kampus disebut kampus kalau dia mengaktifkan argumentasi. Kampus tanpa argumentasi sama dengan supermarket atau mal.

"Jadi, kampus berhenti berpikir, kebijakan publik juga akhirnya kehilangan kemampuan untuk minta dievaluasi, karena kampus tidak mungkin mengevaluasi kebijakan publik. Jadi kalau kampus tidak melahirkan argumen maka tidak mungkin mengevaluasi koorporasi; kalah tanding dengan koorporasi," ujarnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya