Tersangka Eni Saragih Mengaku Salah, Lalu Minta Tolong ke Jokowi

Tersangka yang juga Anggota DPR Komisi VII Eni Maulani Saragih (tengah) dengan rompi tahanan menuju mobil tahanan usai diperiksa di kantor KPK, Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Melalui sebuah surat yang ditulis tangan sebanyak dua halaman, Eni Maulana Saragih mengaku tidak pernah melakukan intervensi untuk memenangkan salah satu perusahaan dalam proyek PLTU Riau 1.

Berlaku Progresif, Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Bakal Libas 31 Pelaku Tindak Pidana

Wakil Ketua Komisi VII itu kini mendekam di Rutan KPK menyusul statusnya tersangka suap.

Dia menegaskan bahwa proyek PLTU Riau-1 bukanlah tender. Yang ada, kata dia adalah penunjukan langsung. Sebab dalam proyek itu, PLN menguasai 51 persen saham.

Jokowi Yakin Indonesia Bisa Dapat 61 Persen Saham Freeport Indonesia, Meski Alot Negosiasinya

“Yang saya lakukan adalah membantu proyek investasi ini berjalan lancar. Ini bukan proyek APBN,” tulis Eni dalam surat tertanggal 15 Juli 2018 sebagaimana diterima VIVA, Selasa, 17 Juli 2018. 

Eni memaparkan, dari proyek 35 ribu MW, baru di Riau I PLN menguasai saham 51 persen. PLN hanya menyiapkan equity 10 persen. Selebihnya, PLN akan dicarikan dana pinjaman dengan bunga yang sangat murah yakni 4,25 persen per tahun. Dengan begitu, harga jual ke PLN pun murah sekitar 5,3 sen. 

Profil Sandra Dewi, Artis Cantik yang Suaminya Terjerat Kasus Korupsi

“Sehingga diyakinkan ke depan PLN akan dapat menjual listrik yang murah kepada rakyat,” ujarnya. 

Dengan berbagai kondisi itu, Politikus Golkar itu pun meyakini proyek Riau 1 bisa menjadi proyek contoh bagi proyek 35 ribu MW. Dia membandingkan proyek ini dengan proyek PLTU Batang di mana investasi proyeknya mencapai US$5,2 miliar.

Menurutnya, sahamnya juga dikuasai swasta secara penuh. Harganya jualnya pun tergolong mahal di atas 5 sen. Padahal dengan proyek yang sangat besar itu, 2x1000 seharusnya harga bisa di bawah 5 sen. 

Lanjutnya, negara menjamin proyek ini sampai 30 tahun tanpa ada kepemilikan negara di proyek ini. Selain dengan PLTU Batang, Eni juga membandingkan proyek PLTU Riau 1 dengan PLTU Paiton yang menjual dengan harga di atas 9 sen. 

“Luar biasa gilanya. Ada apa dengan proyek ini? Makanya saya perjuangkan proyek Riau I karena saya yakin ada sesuatu yang bisa saya lakukan buat negara ini,” kata Eni. 

Menurut Eni, banyak tangan atau kepentingan segelintir orang yang tidak mau model seperti PLTU Riau 1 ini bisa berjalan. Pihak-pihak ini, lanjutnya, tidak mau negara menguasai aset karena kepentingan mereka bisa terusik.

Dia pun meminta kepada Presiden Jokowi agar tidak menggagalkan model proyek Riau I. 

“Ini karena model ini yang Bapak mau. Saya mohon Bapak Presiden turun tangan langsung dengan proyek 35 ribu MW,” kata Eni dituliskan dalam surat tersebut.

Sekalipun demikian, Eni mengakui kesalahannya. Dia mengakui kerap meminta bantuan Kotjo ketika ada kebutuhan yang mendesak baik untuk kegiatan organisasi, kegiatan umat, maupun kebutuhan pribadi. 

Menurut Eni, hal itu terjadi karena dirinya sudah menganggap bos APAC Group itu sebagai teman. 

“Pak Kotjo pun membantu karena mungkin Beliau beranggapan yang sama kepada saya,” ujarnya.

Eni juga mengakui kesalahannya menerima uang dari proyek itu. Dia mengaku meyakini bahwa rezeki yang dia dapat dari proyek itu menjadi halal karena tujuannya adalah untuk kepentingan negara dan rakyat. "Dan selalu saya niatkan untuk orang-orang yang berhak menerimanya,” tulis dia.

Dia pun mengaku siap mempertanggungjawabkan kesalahannya itu. 

“Saya mengakui ini salah karena saya sebagai Anggota DPR (karena jabatan saya melekat) dan kesalahan ini akan saya pertanggungjawabkan di depan hukum dan di hadapan Allah SWT,” imbuhnya. 

Dikonfirmasi awak media mengenai keaslian surat tersebut, Pengacara Eni, Fadli Nasution pun mengamininya. 

"Ya benar," kata Fadli ditanyai awak media.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya