Ungkap Keterlibatan Partai di Suap PLTU, KPK Butuh Pendapat Ahli

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok A

VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membutuhkan pendapat ahli hukum untuk menerapkan pidana korporasi atau tidak ke partai politik. Hal ini dilakukan lantaran ada indikasi keterlibatan Partai Golkar dalam kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1.

KPK Jebloskan Adik Eks Gubernur Banten ke Lapas Sukamiskin

Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, setiap kasus rumit yang dihadapi selalu mengundang pakar atau para ahli untuk mencari landasan hukum yang kuat dalam memidanakan tersangka pada sebuah kasus.

"Permintaan pendapat ahli sudah sering dilakukan tidak hanya spesifik terhadap koorporasi saja tetapi terkait dengan seluruh penanganan perkara," kata Febri Jumat, 14 September 2018.

Dalami Kasus Suap Wali Kota Nonaktif Bekasi, KPK Panggil Dua Kadis

Febri menjelaskan, pendapat dari para ahli ini dapat dijadikan alat bukti, termasuk untuk kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1. "Alat bukti itu kan ada lima, salah satu alat bukti itu ahli," kata Febri.

Sementara Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif sebelumnya mengatakan, kalau pihaknya memang membutuhkan pendapat ahli guna mengungkap tuntas kasus suap PLTU Riau-1. Namun kata Laode saat ini belum ada persepsi yang jelas apakah parpol dapat disamakan dengan perusahaan.

KPK Dalami Dugaan Keterlibatan DPRD Terkait Suap Wali Kota Bekasi

"Itu belum semuanya sama persepsinya, oleh karena itu KPK harus mengkaji lebih dalam lagi," kata Laode beberapa hari lalu.

Karena itu, lembaga antirasuah ini sambung Laode, berencana mengundang sejumlah pakar hukum terkait penggunaan Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, terhadap partai politik.

"Berdiskusi apakah tanggung jawab pidana korporasi bisa juga dikenakan terhadap partai politik," ujarnya.

Saat ditagih janji pimpinan KPK yang akan menghadirkan ahli tersebut, Febri menyatakan saat ini tim di institusinya akan terlebih dahulu fokus menuntaskan perkara mantan Menteri Sosial yang juga mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham.

Sebelumnya KPK mengaku menerima pengembalian uang sebesar Rp700 juta dari Partai Golkar. Uang tersebut disinyalir berasal dari suap proyek PLTU Riau-1. "Pengembalian uang tersebut dengan nilai sekitar Rp700 jutaan," kata Febri.

Menurut Febri, pengembalian itu menjadi salah satu bukti penguat adanya praktik korupsi dalam proses pembahasan proyek PLTU Riau-I yang melibatkan partai politik. KPK bakal menelusuri aliran dana suap proyek bernilai USD900 juta itu ke pihak lain.

"Itu yang kami telusuri dan setelah terkonfirmasi juga dilakukan proses pemeriksaan terhadap sejumlah pihak ada salah satu pihak pengurus partai yang kemudian mengembalikan uang tersebut," kata Febri.

Sejauh ini, pada perkara itu, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka. Ketiganya yakni Wakil Ketua Komisi VII, Eni Maulani Saragih, bos Blackgold Natural Resources Limited, Johannes B Kotjo, dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham.

Eni diduga bersama-sama Idrus menerima hadiah atau janji dari Kotjo, sebesar Rp6,25 miliar, untuk memuluskan perusahaan Kotjo menggarap proyek PLTU Riau-1. Dalam beberapa kesempatan, Eni mengakui sebagian uang yang ia terimanya, dialirkan ke Partai Golkar.

Dalam perkara ini juga KPK telah dua kali memeriksa Dirut PT PLN Sofyan Basir, serta menyita CCTV rumah dan ponsel milik Sofyan Basir.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Lodewijk Freidrich Paulus, membenarkan kabar tentang pengembalian uang senilai Rp700 juta kepada KPK oleh salah satu kadernya. Tapi menurut Lodewijk, uang yang disebut suap proyek PLTU Riau 1 itu dikembalikan atas insiatif pribadi, bukan datang atas instruksi Partai Golkar.

"Ini bukan partai, ini individu ya. Jadi bedakan antara individu dan partai," kata Lodewijk saat ditemui di Jakarta Selatan pada Kamis malam, 13 September 2018.

Lodewijk juga menegaskan, kasus yang menyeret dua politikus Golkar tidak ada kaitan dengan partai. Apalagi tudingan soal uang suap itu turut mengalir untuk kegiatan Partai Golkar, yaitu musyawarah nasional luar biasa pada 2017.

Pimpinan Golkar sudah berulang kali mengingatkan kepada setiap kadernya agar segera mengembalikan uang itu jika menerimanya. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya