KPK Beberkan Kronologi Kasus Eddy Sindoro Hingga Kabur ke Luar Negeri

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan) didampinggi juru bicara KPK Febri Diansyah (kiri)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA – Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menjelaskan kronologi kasus Chairman PT Paramount Enterprise Internasional, Eddy Sindoro hingga kabur ke luar negeri selama dua tahun. Kasus ini dimulai dari operasi tangkap tangan pada tahun 2016. Dia akhirnya menyerahkan diri ke KPK.

Integritas Firli Bahuri dan Komitmen Penegakan Hukum Irjen Karyoto

"Pada 20 April 2016 KPK menangkap tangan dua orang, yaitu DAS (swasta) dan EN (panitera atau sekretaris pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) di Jakarta. Keduanya kemudian ditetapkan sebagai tersangka," kata Saut di gedung KPK, Jakarta, Jumat 12 Oktober 2018.

Selanjutnya Mei 2016 KPK dua kali memanggil tersangka Eddy Sindoro (Esi) untuk diperiksa sebagai saksi. Namun, ESI tidak hadir tanpa keterangan. Pada 1 November 2016 KPK menetapkan Esi sebagai tersangka.

KPK Periksa Keponakan Surya Paloh

"November 2016 KPK memanggil Esi untuk diperiksa sebagai tersangka. Namun Esi tidak hadir tanpa keterangan. Kemudian melarikan diri keluar negeri," ujarnya.

KPK mulai melacak keberadaan Eddy Sindoro pada November 2017. Esi diduga mencoba melakukan perpanjangan paspor Indonesia di Myanmar.

KPK Setor Uang ke Kas Negara Rp1,1 Miliar dari Eks Pejabat Muara Enim

Dari akhir tahun 2016 hingga 2018, Esi diduga berpindah pindah ke sejumlah negara, diantaranya Thailand, Malaysia, Singapura dan Myanmar.

Awal Agustus 2018 KPK meminta untuk penetapan daftar pencarian orang (DPO) terhadap Esi. Dan pada 29 Agustus 2018 ESI dideportasi untuk dipulangkan ke Indonesia.

"29 Agustus 2018 Esi tiba di Bandara Soekarno Hatta, Indonesia. Pada 29 Agustus 2018 setelah sampai di Bandara, Esi kembali terbang ke Bangkok, Thailand, yang diduga tanpa melalui proses imigrasi," ungkapanya.

Hingga pada 12 Oktober 2018 pagi hari waktu Singapura, Esi menyerahkan diri pada KPK melalui atase kepolisian RI di Singapura. Sekitar pukul 12.20 waktu Singapura tim membawa Esi ke Indonesia,  sebagai bagian dari proses penyidikan juga dilakukan penangkapan terhadap tersangka sesuai hukum acara yang berlaku. 

"Sekitar pukul 14.30 tim yang membawa Esi tiba di gedung KPK dan saat ini sedang dalam proses pemeriksaan," ujarnya. 

KPK telah menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka pada 21 November 2016. Eddy diduga telah memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait dengan pengurusan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang penentangan dengan kewajibannya. 

Atas perbuatannya tersebut, Esi disangkakan melanggar pasal S ayat (1) huruf a dan/atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU Tindak Pidana Korupsi No 20 tahun 2001. Jo pasal 64jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHPidana. 

Untuk pengembangan penyidikannya, sekurangnya sejak November 2016 hingga hari ini KPK telah memeriksa 28 orang saksi untuk tersangka ESI. Unsur saksi antara lain: staf dan panitera PN Jakarta Pusat, advokat, pegawai PT. Artha Pratama Anugerah Presiden Direktur PT. Paramount Enterprise International, dan swasta lainnya. 

Dalam perkembangan penanganan perkara, KPK juga menetapkan seorang lainnya yaitu LCS (Advokat) sebagai tersangka. adanya dugaan tindak pidana dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi penyuapan terkait pengajuan peninjauan kembali (PK) pada PN Jakarta Pusat dengan tersangka ESI 

Sedangkan kedua tersangka sebelumnya, yaitu DAS dan EN telah divonis bersalah oleh majelis hakim Tipikor pada PN Jakarta Pusat, masing-masing menjalani hukuman: 

a. DODDY ARYANTO SUPENO (Swasta), Putusan PN: Pidana penjara 4 (empat) tahun dan denda Rp.150.000.000,subsidair 6 (enam) bulan. 

b. EDY NASUTION (Panitera/Sekretaris pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat), Putusan MA : Pidana 8 (delapan) Tahun Penjara dan denda Rp.300.000.000,Subsidiair 6 Bulan. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya