Kisah 10 Pahlawan RI Mati Muda, Sebagian Baru Berusia 17 Tahun

usman harun sorot
Sumber :
  • VIVAnews/Abdul Basit

VIVA – Seorang pahlawan rela memberikan nyawa demi bangsa dan tanah airnya. Risiko mereka tempuh demi sebuah keyakinan dan perjuangan sekalipun harus mengesampingkan diri pribadi. Seorang pahlawan menempatkan dirinya jauh di bawah kepentingan negaranya.

Kepemimpinan Perempuan di BUMN dan Cara BKI Lanjutkan Semangat Kartini

Di antara pahlawan-pahlawan nasional maupun pejuang kemerdekaan, tak sedikit yang memulai menempuh jalan berbahaya namun mulia itu sejak masa muda. Di usia belia, angkat senjata demi sebuah pembebasan dan kemerdekaan. 

Bahkan di antaranya harus mati muda. Namun kematian pahlawan muda tak akan sia-sia lantaran buahnya kini dinikmati anak cucu, generasi penerus bangsa. 

Harmoni Energi Sehat Menyuarakan Pesan Kesetaraan dalam Pelayanan Kesehatan

Pada peringatan Hari Pahlawan tahun 2018 saat ini, pahlawan yang mati muda layak dikenang. Singkatnya hidup mereka di dunia menjadi sebuah teladan pengorbanan, wujud kasih yang paling nyata dari manusia kepada manusia lainnya.

1. Harun Tohir

Gus Baha Ingatkan Semua Orang Agar Ingat Mati Tapi Tetap Semangat Hidup

Nama Harun baru dikenal sejak adanya kapal perang KRI Usman Harun. Dia lahir 4 April 1943 di pulau Keramat Bawean, Jawa Timur. Nama aslinya Tohir bin Said. Harun merupakan anak ketiga  dari pasangan Mandar dan Aswiyani dikenal sebagai Pahlawan Nasional dengan nama Harun. 

Dia awalnya menjadi anggota sukarelawan Korps Komando Angkatan Laut (KKO) Juli 1964 masuk ke dalam tim Brahma I di Basis II Ops A KOTI dan di sana bertemu dengan Usman Janatin bin Muhammad Ali dicukil dari buku Pahlawan-pahlawan Bangsa yang Terlupakan, Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014

Selain itu mereka bersama Gani bin Aroep menjadi sekondan. Tampangnya yang oriental kemampuan menguasai bahasa China, bahasa Inggris dan bahasa Belanda membuat dia ditugaskan ke Singapura menyamar sebagai pelayan dapur. Tugas rahasia menyusup ke Singapura untuk melakukan sabotase bersama Usman dan Gani. 

Pada 8 Maret 1965 mereka berangkat dengan menggunakan perahu karet dengan 12,5 kilogram bahan peledak. Melakukan sabotase di objek vital di Singapura dan mereka meledakkan bangunan McDonalds House di pusat kota Singapura pada 10 Maret 1965.

Harun dan Usman ditangkap patroli Singapura pada 13 Maret 1965 karena boat yang membawa mereka kembali mengalami kerusakan mesin dan keduanya diadili kemudian divonis mati. Sedangkan Gani mencari jalan lain dan tak tertangkap.  Dengan Usman, dia menjalani hukuman gantung di penjara Changi, Singapura hukuman gantung pagi hari 17 Oktober 1968. Jenazah dibawa ke TMP Kalibata. Kopral KKO TNI Anumerta Harun bin Said dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI Nomor 050/TK/ tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968. Harun gugur dalam usia 25 tahun.

2. Usman Janatin 

Usman lahir di Desa Tawangsari, Kelurahan Jatisaba, Purbalingga dengan ayah Muhammad Ali dan Rukiah pada 18 Maret 1943. Tahun 1962, dia mengikuti pendidikan militer di Malang yang dilaksanakan oleh Korps Komando Angkatan Laut.

Sama dengan Harun, dia dieksekusi mati setelah mendekam 3,5 tahun penjara di Singapura. Dia dan Harun gugur dihukum gantung pada usia 25 tahun. Usman kemudian menjadi Pahlawan Nasional sesuai dengan Keputusan Presiden RI Nomor 050/TK/ tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968. Untuk menghormati jasa Usman, pemerintah Purbalingga membangun taman kota yang diberi nama Taman Kota Usman Janatin yang luasnya 3,5 hektare. 

3. RA Kartini

Lahir di Jepara, 21 April 1879, Raden Adjeng Kartini merupakan putri dari kalangan priyayi kelas bangsawan Jawa. Ayahnya bernama Raden Mas Sosroningrat yang merupakan Bupati Jepara namun ibunya bukanlah istri utama. Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara baik kandung maupun tiri. 

Kartini mampu berbahasa Belanda sehingga dia sangat rajin berkorespondensi dengan teman dan kenalannya di Belanda. Dalam buku RA Kartini, Emansipasi: Surat- surat kepada Bangsanya 1899-1904 yang dicetak penerbit Hivos dan Jalasutra, 1979 diterjemahkan Sulastrin Sutrisno, terdapat surat-surat Kartini kepada teman dan kenalannya di Belanda yang menggambarkan batin dan cita-cita seorang perempuan Jawa yang tidak memiliki banyak pilihan pada pada zamannya.  Selain gemar berkorespondensi, Kartini juga sering membaca surat kabar De Lokomotif yang terbit di Semarang pimpinan Pieter Brooshoof.

Kartini menikah dengan Bupati Rembang yang bernama Raden Adipati Joyodiningrat yang sudah memiliki tiga istri. Kartini setelah menikah membuka sekolah wanita di sebelah timur gerbang kompleks kntor Bupati Rembang. Kartini meninggal pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan anaknya yang bernama RM Soesalit. Dia meninggal pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964 oleh Presiden Soekarno. Hari lahir Kartini 21 April kemudian diperingati sebagai Hari Kartini. 

4. Pierre Tendean

Kapten Czi (Anumerta) Pierre Andries Tendean lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939 dari pasangan Dr AL Tendean, pria Minahasa dan Cornet ME yang berdarah keturunan Prancis. merupakan salah seorang Perwira Militer yang menjadi korban dalam peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Dia mengawali karier sebagai intelijen dan sebelumnya menempuh pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) Bandung pada tahun 1958.

Pierre Tendean meninggal dunia dalam usia 26 tahun pada 30 September 1965 di Jakarta. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia tanggal 5 Oktober 1965.

5. Daan Mogot

Daan Mogot lahir di Manado, 28 Desember tahun 1928 dengan nama asli Elias Daniel Mogot dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. 

Daan Mogot awalnya direkrut oleh Seinen Dojo, pasukan paramiliter bentukan Jepang saat usianya masih sangat belia yakni 14 tahun. Pada tahun 1943, dia kemudian menjadi instruktur Pembela Tanah Air atau PETA di Bali lalu pada 17 Agustus 1945, dia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR).

Dia bersama rekan-rekannya di PETA Bali lalu mendirikan Akademi Militer Tangerang yang saat itu awalnya merekrut hingga 180 orang menjadi calon perwira. 

Daan Mogot gugur dalam Pertempuran Lengkong pada 25 Januari 1946 setelah terkena tembakan di dada dan bertahan menembaki pasukan KNIL Belanda agar bawahannya bisa menyelamatkan diri. Pertempuran itu terjadi di wilayah Tangerang bagian selatan. Daan Mogot wafat dalam usia 17 tahun.

6. Martha Christina Tiahahu 

Lahir di Nusa Laut, Maluku pada 4 Januari 1800, Martha berasal dari Desa Abubu. Pada waktu ikut mengangkat senjata melawan Belanda dia masih berusia 17 tahun. Ayahnya seorang kapiten yakni Kapiten Paulus Tiahahu yang merupakan pembantu dari Thomas Matulessy dalam Perang Pattimura tahun 1887. 

Di usia remaja, dia ikut bertempur di Perang Pattimura tahun 1817 dengan rambut terurai panjang dan berikat kepala. Dia juga mendampingi sang ayah dalam pertempuran di Nusalaut dan Saparua. Ia juga memberi semangat bagi kaum wanita agar menyemangati para pria dalam pertempuran. Bahkan Belanda disebut sempat kewalahan melihat wanita yang ikut bertempur. 

Di pertempuran di Desa Ouw Ullat Jasirah, Kapiten Paulus tertangkap sementara Martha melakukan gerilya dan mencoba melepaskan ayahnya namun tak berhasil hingga sang ayah divonis mati dengan hukuman tembak.

Kemudian dia akhirnya tertangkap dan diasingkan ke pulau Jawa. Namun dalam perjalanan diasingkan, Martha meninggal di kapal perang Eversten. Jasadnya kemudian diluncurkan di laut Banda pada 2 Januari 1818 di usia 17 tahun. Martha kemudian dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh pemerintah RI sebagaimana dikutip dari buku Tokoh-tokoh Fenomenal Paling Mempengaruhi Wajah Indonesia, tulisan Iwan Setiawan, Penerbit Laksana tahun 2011

7. Kapitan Pattimura 

Pattimura lahir di Negeri Haria, Saparua, Maluku pada tanggal 8 Juni 1783. Ia bernama asli Thomas Matulessy. Pattimura pernah masuk militer Inggris dengan pangkat terakhir Sersan. Tanggal 14 Mei 1817, rakyat Maluku melakukan sumpah setia lalu mengangkat Matulessy menjadi pemimpin perlawanan terhadap Belanda yang kembali pada 1816. Dia kemudian diberi gelar Kapitan Pattimura.

Serangan yang dilakukan Pattimura ke tentara Belanda bahkan menewaskan Residen Van de Berg dan tentara Belanda yang ada dalam bentengnya. Selama tiga bulan benteng Duurstede kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Pattimura.

Namun setelah itu Belanda melakukan operasi besar-besaran dan akhirnya berhasil menangkap Pattimura dan pasukannya di sebuah rumah di Siri Sori dan mereka dibawa ke Ambon. 

Dia lalu diadili di pengadilan Kolonial Belanda dan dijatuhi hukuman gantung. Pattimura lalu digantung pada 16 Desember 1817 dalam usia 34 tahun di depan benteng Niew Victoria di Ambon. Pattimura oleh pemerintah RI kemudian diangkat sebagai Pahlawan Nasional.

8. KH Wahid Hasyim

Putra KH Hasyim Asy'ari yang merupakan pendiri NU ini lahir di Jombang, Jawa Timur pada 1 Juni 1914. Dia merupakan ayah dari Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Wahid Hasyim merupakan salah seorang anggota BPUPKI dan pendiri IAIN yang sekarang dikenal sebagai UIN.

Wahid Hasyim masuk BPUPKI dan menjadi tokoh termuda sembilan tokoh nasional yang ikut menandatangani Piagam Jakarta, yang akhirnya menjadi cikal bakal Proklamasi dan Konstitusi.

Di Kabinet pertama yang dibentuk Soekarno, KH Wahid diangkat menjadi Menteri Agama. Pada 18 April 1953, KH Wahid pergi ke Sumedang dalam rangka rapat NU namun di daerah pinggiran Cimahi, saat hujan lebat, mobil Chevrolet mereka kecelakaan dan ditabrak truk, Kyai Wahid disebutkan terlempar. Dia kemudian dibawa dan sempat dirawat di RS Boromeus Bandung dan saat itu KH Wahid sudah tak sadarkan diri hingga keesokan harinya, 19 April 1953 dia meninggal dunia dalam usia 39 tahun.

Jenazah kemudian dibawa ke Jakarta lalu diterbangkan ke Surabaya dan dimakamkan di Pesantren Tebuireng Jombang. KH Wahid lalu diberikan gelar Pahlawan Nasional dikutip dari buku Tokoh-tokoh Fenomenal Paling Mempengaruhi Wajah Indonesia, tulisan Iwan Setiawan, Penerbit Laksana tahun 2011.

9. Jenderal Sudirman

Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar perjuangan kemerdekaan. Meski menderita sakit paru-paru dia bisa memimpin pasukan melawan tentara Belanda dan menjadi Jenderal di usia 31 tahun. Pada awal pendudukan Jepang, Sudirman masuk menjadi tentara PETA dan menjadi Komandan Batalyon di Kroya.

Dia lahir di Bondas, Karangjati, Purbalingga pada 24 Januari 1916 dan menempuh pendidikan di Taman Siswa. Kemudian melanjutkan pendidikan ke HIK atau sekolah guru di Muhammadiyah di Solo namun tak tamat. Setelah TKR dibentuk, dia menjadi Panglima Angkatan Perang RI.

Sudirman menjadi tokoh yang cukup sentral saat terjadi agresi militer Belanda II yang mana Yogyakarta saat itu berhasil dikuasai Belanda. Sementara Bung Karno dan Bung Hatta sedang ditawan. Saat itu Sudirman tetap melakukan perlawanan dengan perang gerilya.

Sudirman meninggal dunia pada 29 Januari 1950 dalam usia 34 tahun di Magelang. Jenazahanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

10. Andi Abdullah Bau Massepe

Andi Abdullah Bau Massepe merupakan pejuang dari Sulawesi Selatan. Dia merupakan Panglima pertama TRI Divisi Hasanuddin dengan pangkat Letjen. Massepe diberi gelar Pahlawan Nasional di era Presiden SBY pada 9 November 2005 dalam momen peringatan Hari Pahlawan.

Andi Abdullah Massepe lahir pada 1929 yang merupakan putra dari Andi Mappanyukki dan Besse Bulo.

Bau Massepe merupakan Ketua Umum BPRI dan Koordinator Perjuangan Bersenjata bagi Pemuda daerah Pare Pare. Namun dia wafat ditembak mati oleh pasukan Westerling pada 2 Februari 1947 setelah ditahan selama 160 hari. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kota Pare-Pare sekitar 110 Kilometer dari Kota Makassar. Dia wafat dalam usia 18 tahun.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya