Cerita Nama Hingga Cinta Pahlawan Bangsa

Tugu Proklamasi
Sumber :
  • VIVA.co.id/Isra Berlian

VIVA – Teks proklamasi itu dibacakan Soekarno, pada 17 Agustus 1945. Didampingi Muhammad Hatta, Bung Karno, sapaan Soekarno, mengumumkan pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. 

Sosok Ini yang Membuat Adik KH Agus Salim Tertarik Masuk Katolik

Bung Karno dan Bung Hatta lantas dijuluki sebagai bapak proklamator Indonesia. Soekarno-Hatta dianugerahi gelar sebagai pahlawan proklamator berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 081/TK/1986. Keputusan tersebut ditandatangani Presiden saat itu Soeharto.

Tak hanya itu, Presiden dan Wakil Presiden pertama RI itu pun dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional. Adalah Presiden ke 6 RI Susilo Bambang Yudhoyono yang menganugerahkan gelar tersebut melalui keluarga Soekarno dan Hatta, di Istana Negara Jakarta, Rabu, 7 November 2012.

Kisah Chalid Salim, Adik KH Agus Salim yang Memilih Agama Katolik

Di balik perjalanan hidup kedua tokoh bangsa itu,  banyak kisah menarik yang terjadi. Satu di antaranya soal nama Soekarno dan Mohammad Hatta. Dikutip dari buku Soekarno-Hatta Persamaan dan Perbedaaannya, karya Tamar Djaja, nama Soekarno dan Mohammad Hatta bukan nama asli.

Nama saat ini tidak sesuai dengan nama yang diberikan saat masih kecil. Waktu kecil, Soekarno diberi nama oleh orangtuanya “Kusno”. Perubahan menjadi Soekarno terjadi saat dia masuk sekolah. Perubahan tersebut atas kemauan Kusno sendiri. 

Panglima TNI Usulkan Doni Monardo Jadi Pahlawan Nasional

Rumah Persinggahan Soekarno-Hatta

Orangtuanya tak menentang perubahan itu. Nama itu berasal dari nama seorang pahlawan dalam wayang, yaitu Karna yang diucapkan menurut lidah orang Jawa menjadi “Karno”. Di depan nama “Karno” lantas dibubuhi kata “Soe” yang berarti baik. Jadi Soekarno berarti Karno yang baik.

Sementara Mohammad Hatta, semula orangtuanya memberi nama “Athar” yang berarti sesuatu yang membuat harum. Athar memiliki kakak perempuan. Saat bermain-main, sang kakak memanggil adiknya itu dengan “Atta”. Lama kelamaan, nama Atta menjadi nama kesayangan lalu berubah menjadi “Hatta”.

Nama itu lantas disukainya dan keluarga. Kemudian, sebagai turunan orang yang taat beragama maka di depan “Hatta” ditambahkan ”Mohammad”. Akhirnya, nama Mohammad Hatta yang dipakai hingga kini.

Bukan hanya Soekarno-Hatta, sejumlah pahlawan lainnya pun punya cerita tersendiri di balik kehidupan mereka mengabdi untuk bangsa Indonesia. Berikut ini kisah lain beberapa pahlawan:

Keris Sang Jenderal

Jenderal Besar Sudirman, seorang perwira tinggi pada masa Revolusi Nasional Indonesia, gemar mengoleksi keris. Sebagai penganut aliran kejawen Sumarah, dia percaya keris memiliki tuah. 

Anak bungsu Soedirman, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, seperti dilansir dalam buku, Seri Buku Tempo Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir, menceritakan soal keris milik ayahnya itu. Saat itu, Soedirman dan pasukannya terpojok di lereng Gunung Wilis, Tulungagung, Jawa Timur.

Jubah dan sepatu milik Jenderal Soedirman di Museum Sasmitaloka

Tiba-tiba, Soedirman mencabut cundrik, keris kecil pemberian seorang kiai di Pacitan, Jawa Timur. Soedirman mengarahkan keris itu ke langit. Sesaat kemudian, awan hitam datang disertai petir dan angin. Hujan lebat pun turun sehingga membuyarkan pasukan Belanda yang tengah mengepung Jenderal Soedirman dan pasukannya. Mereka pun selamat dari kepungan tentara Belanda.

Cundrik itu lantas dititipkan kepada seorang petani. Soedirman wafat pada 1950. Beberapa tahun kemudian, cundrik itu dikembalikan kepada istri Soedirman, Siti Alfiah. Pihak keluarga lantas menitipkan cundrik itu di Museum Soedirman di Bintaran Timur, Yogyakarta. “Tapi sekarang hilang,” ujar Teguh dikutip dari buku tersebut.

Jenderal Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 10 Desember 1964.

Jas Tambalan

Mohammad Natsir menjadi Menteri Penerangan pada awal 1946. Meski menjadi pejabat, penampilannya sederhana. Bahkan, ia pernah kedapatan memakai jas tambalan. 

Mohammad Natsir.

Seorang guru besar Universitas Cornell George McTurman Kahin mengungkapkan soal jas tambalan itu. Saat itu, Kahin bertemu dengan Natsir. “Pakaiannya sungguh tak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Kahin dalam buku untuk memperingati 70 Tahun Mohammad Natsir seperti dikutip dalam buku Seri Buku Tempo Natsir Politik Santun di antara Dua Rezim.

Kahin melihat sendiri Natsir memakai jas bertambal. Belakangan, Kahin tahu bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang untuk membelikan bos mereka pakaian agar tampak pantas sebagai menteri.

Natsir ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2008.

Notes Doa 

Semasa hidupnya, Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Pandjaitan selalu ingat kepada Tuhan. Dalam notes-notes kecil banyak tertulis doanya. Doa-doa ditulis dalam bahasa Indonesia, Batak, Belanda dan Inggris.

Hal itu terungkap dalam buku Marieke Pandjaitan br Tambunan, D.I. Pandjaitan Pahlawan Revolusi Gugur Dalam Seragam Kebesaran, biografi seperti dituturkan kepada dan dituliskan oleh Ramadhan K.H. dan Sugiarta Sriwibawa.

Hari Kesaktian Pancasila

Istri D.I. Pandjaitan, Marieke masih menyimpan notes-notes berisi doa itu. Di antaranya berbunyi:

Kalau kita dalam bencana
Dan jalan keluar tiada
Jangan sekali lupakan
Tuhan tak meninggalkan Anda
Jangan takut akan bencana
Jangan takut akan bahaya
Tuhan kan lindungi Anda.

Bukan hanya kerap menulis doa dalam catatannya, Pandjaitan juga suka memberikan khotbah di gereja. Saat bertugas di Jerman misalnya, Pandjaitan sering berkhotbah di gereja dengan menggunakan bahasa Jerman. Lantaran itu, Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani pernah menilai Pandjaitan lebih cocok menjadi pendeta.

Pandjaitan dan Ahmad Yani meninggal dalam tragedi 30 September 1965. Keduanya ditetapkan sebagai pahlawan revolusi pada 5 Oktober 1965 berdasarkan Keppres Nomor 111/KOTI/1965. Sejak Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, gelar pahlawan revolusi itu diakui juga sebagai Pahlawan Nasional.

Tanda Janji

Layaknya para pria pada umumnya, Kopral KKO TNI Anumerta Harun bin Said, anggota Korps Komando (saat ini Korps Marinir) juga jatuh cinta.  Seperti dilansir dalam buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan karya Johan Prasetya, Harun jatuh cinta terhadap Nurlaila. Keduanya pun sepakat untuk menikah. Sebagai tanda janji, Harun yang ketika itu berusia 21 tahun, lantas memberi cincin kepada gadis pujaannya itu. Keduanya pun bertunangan.

Usman dan Harun, Pahlawan Dwikora.

Namun ternyata kekasihnya itu akan menikah dengan pria pilihan orangtuanya. Saat kedua mempelai hampir menikah, Harun dan kawan-kawannya datang untuk menghentikan pernikahan itu. Penghulu lari ke rumah Samsuri, kakak Harun, untuk memintanya mencegah tindakan Harun.

Harun lantas menuruti permintaan Samsuri untuk mengurungkan niat menghalangi pernikahan Nurlaila. Namun, dia memberikan syarat agar perhiasan dan uang yang pernah diberikan ke Nurlaila dikembalikan.

Harun dikenal sebagai prajurit yang tegas dan disiplin. Pada 10 Maret 1965, ia mendapat tugas rahasia yaitu menyusup ke Singapura untuk membuat sabotase. Bersama Usman dan Gani, Harun meledakkan bangunan McDonalds House di negara itu. Pada 13 Maret 1965, Harun dan Usman ditangkap. Kedua prajurit itu dihukum gantung di penjara Changi, Singapura pada 17 Oktober 1968.

Atas jasa-jasanya, Kopral KKO TNI Anumerta Harun bin Said dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI Nomor 050/TK/Tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968.

Nama Harun menarik perhatian publik ketika TNI memberi nama kapal perangnya KRI Usman Harun. Pemerintah Singapura memprotes hal itu.
 
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya