Tan Malaka di Tengah Kecamuk Pertempuran 10 November

Tan Malaka, aktivis kemerdekaan Indonesia, filsuf kiri, pemimpin Partai Komunis Indonesia.
Sumber :
  • Dody Handoko

VIVA – Pelabuhan Tanjung Priok kedatangan tiga kapal perang Sekutu dua puluh sembilan hari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Kapal-kapal itu membawa satu rombongan pimpinan Charles van der Plas untuk menjajaki pendaratan pasukan yang lebih besar.

KPU Tetapkan Presiden dan Wapres Terpilih pada 24 April 2024

Kehadiran sang wakil Belanda untuk Sekutu menyusul pernyataan kalah perang Jepang atas Sekutu. Negara-negara Sekutu, berdasarkan Perjanjian Wina pada 1942, bersepakat mengembalikan wilayah-wilayah yang kala itu diduduki Jepang kepada pemilik koloninya, termasuk Hindia kepada Belanda.

Ratu Wilhemina menyatakan bahwa negara-negara koloninya akan disatukan dalam sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya ialah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda. Ratu kemudian membentuk NICA (pemerintahan sipil Hindia Belanda), yang dipimpin Hubertus J van Mook, dan pasukannya menumpang armada Sekutu.

MK Sebut Tak Ada Paslon yang Keberatan Pencalonan Gibran Usai Ditetapkan KPU

Misi resmi Sekutu sesungguhnya melucuti bala tentara Jepang sebagai pihak yang kalah perang dan mengurus pengembalian tawanan perang serta tawanan warga sipil negara-negara Sekutu. Namun Hindia, yang ketika itu sudah menjadi sebuah negara bernama Republik Indonesia, menyadari sepenuhnya keberadaan tentara Sekutu maupun NICA sebagai ancaman atas kemerdekaan.

Pada 29 September, pasukan Sekutu benar-benar mendarat di Jakarta, dan kemudian berangsur-angsur dikirim ke sejumlah kota-kota utama seperti Surabaya dan Medan. Meletuslah sejumlah pertempuran sporadis antara pasukan Sekutu dan NICA dengan laskar-laskar pemuda Indonesia.

Ketua KPU Minta Maaf kepada KPPS karena Negara Belum Mampu Belikan HP

Testamen dan Tur Jawa

Sukarno, sebagai pemimpin republik yang masih bayi, juga Mohammad Hatta, cemas akan ditangkap Sekutu atau Belanda. Dia kemudian, pada 1 Oktober, menulis sebuah wasiat politik atau testamen untuk seorang yang dipercayainya sanggup meneruskan revolusi kemerdekaan; seorang yang yang dianggap paling mahir dalam revolusi, Tan Malaka. Sukarno sudah cukup lama terinspirasi pemikiran-pemikiran politik Tan Malaka, terutama melalui dua risalah berjudul Menuju Republik Indonesia dan Aksi Massa.

Namun Hatta mengingatkan bahwa Tan Malaka adalah tokoh kiri yang kontroversial. Lebih penting lagi, menurut Hatta, pamor Tan Malaka tak sepopuler Sukarno di mata rakyat, akibat hidup sebagai orang buangan setelah selama dua puluh tahun diusir ke luar negeri oleh pemerintah kolonial Belanda. Ditambah sebagian besar hidupnya dalam penyamaran karena diburu interpol dan polisi kolonial.

Hatta, sebagaimana ditulis Harry A Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid I: Agustus 1945-Maret 1946), menyarankan Tan Malaka melakukan perjalanan keliling Jawa. Tujuannya, selain memperkenalkan diri kepada rakyat, juga menjajaki sejauhmana pengaruhnya.

Berbekal testamen itulah Tan Malaka mulai melakoni tur Jawa. Bukan hanya memperkenalkan diri, tetapi sekalian mengonsolidasikan kekuatan rakyat, terutama laskar-laskar pemuda, untuk mempersiapkan revolusi. Mula-mula dia ke Bogor dengan menginap di rumah Soekarni lalu bergerak ke Serang, Banten, pada 23 Oktober.

Banten ialah salah satu wilayah dengan banyak pengikut Tan Malaka karena dia pernah mengorganisasi pekerja romusha di sana. Di sanalah Sjahrir sebagai ketua Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) menemui Tan Malaka untuk meminta nasihat-nasihat politik kepada pemimpin tua yang disapanya dengan kata penghormatan Minangkabau, “Engku”, itu.

Maroeto Nitimihardjo, seorang pengikut Sjahrir, mengisahkan nasihat-nasihat politik Tan Malaka yang antikompromi dengan penjajah dan bangsa Indonesia harus mengerahkan segenap tenaga untuk melawan. Maroeto, seperti dikutip Poeze, menulis: “Kita tidak mempunyai senjata, tapi kita punya banyak manusia, banyak pemuda, yang semua siap untuk bertempur. Yang menjadi soal hanyalah masalah organisasi. Satu senapan mesin dengan beberapa ratus peluru sudah cukup. Aplusan akan selalu ada.”

Hatta, dalam Dari hal ‘Testamen Politik’ kepada Tan Malaka, menuliskan pidato Tan Malaka melalui ingatan Sjahrir: … politik Tan Malaka berdasarkan politik bumi hangus. … Perjuangan kita dipusatkan pada massa, rakyat banyak. Tan Malaka menolak berunding dengan Belanda. Berunding hanya dapat dijalankan sesudah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.”

Tan Malaka sempat kembali ke Bogor setelah dari Serang lalu melanjutkan tur ke Karawang, Cikampek, Cirebon, Purwokerto, dan tiba di Yogyakarta pada 1 November. Sepekan sebelumnya, pasukan Sekutu mendarat di Surabaya dan beberapa hari berikutnya pecah pertempuran kecil di sana. Seorang brigadir jenderal Inggris, Aubertin Walter Sothern Mallaby, tewas dalam baku tembak pada 30 Oktober.

Hasyim Asy’ari dan Pertempuran Surabaya

Sampai saat itu keberadaan Tan Malaka belum diketahui banyak orang, termasuk pemerintah pendudukan Jepang maupun Sekutu atau Belanda. Tan Malaka masih dianggap berada di luar negeri dan belum kembali ke Tanah Air sejak dibuang tahun 1922. Muncul sejumlah Tan Malaka palsu yang, menurut Poeze, sebenarnya agen Jepang atau Belanda yang dipakai untuk menjebak para pengikutnya.

Tetapi, pada 3 November, keberadaan Tan Malaka mulai terendus. Seorang perwira dinas intelijen Amerika Serikat, dikutip dari Poeze, melapor kepada kepada Washington: “Diberitakan Tan Malaka telah mendarat di Jawa satu setengah bulan menjelang kapitulasi Jepang. Ia masih tetap bersembunyi tetapi sekarang ia ada di Jawa Timur.”

Koran Merdeka mendapatkan informasi serupa tetapi kurang akurat. Pada 9 November, Merdeka menulis artikel berjudul “Tan Malaka di Jawa” dan diceritakan bahwa kemarin petang Radio Pemberontakan Surabaya menyiarkan berita bahwa Tan Malaka “yang namanya sangat terkenal di kalangan rakyat Indonesia telah tiba di pulau Jawa dalam keadaan sehat walafiat.” Berita itu menyiarkan bahwa Tan Malaka di Surabaya dan bersama para pemuda bertempur melawan pasukan Sekutu.

Tan Malaka, dalam autobiografinya Dari Penjara ke Penjara, mengaku baru saat itulah dia mengetahui bahwa selama ini banyak Tan Malaka palsu. “… dan amat gembira mendengar bahwa saya mempunyai banyak ‘anak’, juga sedang bertempur di Surabaya. Segera saya berangkat menuju ke medan pertempuran Surabaya.”

Rencana keberangkatan segera Tan Malaka tertunda. Menurut Peoze, Tan Malaka akhirnya berangkat ke Surabaya mungkin pada 13 November, tiga hari setelah Inggris membombardir Surabaya. Tertundanya keberangkatan itu, katanya, kemungkinan karena Tan Malaka sedang menyelesaikan kata pengantar untuk cetakan kedua risalahnya, Manifesto Jakarta.

“Tan Malaka ada di Jawa semenjak kira-kira pertengahan tahun 1942,” tulisnya dalam pengantar Manifesto, seperti dikutip dari Poeze. “Dia mengabdi seikhlas-ikhlasnya dengan segala kegembiraan kaum buruh, made in Japan, ialah kaum romusha, hasil satu pemerintahan semunafik-munafiknya, sekejam-kejamnya, serakus-rakusnya, dan sebinatang-binatangnya di bawah kolong langit ini.”

Akhirnya berangkatlah tokoh komunis itu menuju Surabaya. Dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Surabaya, Tan Malaka mampir di sebuah hotel di Mojokerto. Orang kepercayaannya yang menemaninya dalam perjalanan itu, Chaerudin, mengatur pertemuan Tan Malaka dengan tokoh tua Hasyim Asy’ari yang berusia tujuh puluh lima tahun, seorang pendiri dan ketua Nahdlatul Ulama yang tradisional dan sangat berwibawa, di pesantrennnya di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

“Tan Malaka, dan seorang pengikutnya bernama Umar Sugondo, tak sekadar melakukan kunjungan kehormatan belaka. Mereka bermusyawarah dari pukul sembilan malam sampai salat subuh,” tulis Poeze, mengutip catatan Entol Chaerudin dalam Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Pemindahan Kekuasaan.

Tan Malaka dan rombongan segera bergegas berangkat ke Surabaya. Ditahan beberapa kali oleh laskar Pemuda Republik Indonesia (PRI) karena dicurigai agen NICA, sampai datanglah Djohan Sjahroezah (seorang pengikut Tan Malaka) mengklarifikasi dan membebaskan Tan Malaka.

Kira-kira pada 14 atau 15 November, Tan Malaka tiba di Surabaya, dan singgah di markas besar PRI di pusat kota. Lokasi itu tak jauh dari Hotel Oranye (kemudian menjadi Hotel Yamato dan sekarang Hotel Majapahit), tempat pertempuran dimulai pada 19 September. Tan Malaka lalu pindah ke markas baru PRI di Jalan Gedung Taruka, sebelah timur kampung Pacarkeling.

“Di sinilah,” tulis Tan Malaka dalam Dari Penjara ke Penjara, “saya tinggal berhari-hari di tengah-tengah dentuman meriam, mortir dan bom, sambil menulis brosur di tempat markasnya PRI (Pemuda Republik Indonesia), yang memimpin perjuangan mati-matian. Satu jam saja setelah kami meninggalkan Kedung Tarukan, maka serdadu Gurka masuk menduduki.”

Tan Malaka bersama laskar PRI terpaksa bergerak ke selatan menuju Marine Keamanan Rakyat (MKR) pimpinan Atmadji di Wonocolo, setelah markas PRI digempur tentara Inggris pada 20 November. Mereka lalu pindah ke Malang. Tak diketahui pasti berapa lama Tan Malaka dan empat pengiringnya berada di Malang. Tetapi pada akhir November, mereka bergerak ke Yogyakarta dan diperkirakan mampir semalam di Kediri.

Kota Surabaya jatuh ke tangan Inggris pada 20 November, meski mereka tak mudah mendapatkannya. Mayor Jenderal EC Mansergh sebagai pemimpin kapal perang Sekutu memperkirakan kota Surabaya jatuh dan takluk dalam tempo tiga hari. Tetapi perkiraan itu meleset.

Sejarawan Agus Sunyoto, mengutip William H Frederick, menyebut peristiwa itu sebagai pertempuran paling nekat dan destruktif—yang tiga pekan di antaranya—sangat mengerikan jauh di luar yang dibayangkan pihak Sekutu maupun Indonesia. Ribuan orang serdadu Inggris tewas dan lebih 20.000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk Surabaya tewas.

Kembali dan Akhir Hayatnya

Tan Malaka kembali lagi ke Jawa Timur tiga tahun kemudian, pada 12 November 1948. Tapi tidak ke Surabaya, melainkan Kediri. Didukung satu batalion pimpinan Sabarudin dan sejumlah laskar, Tan Malaka membulatkan tekad memimpin perang gerilya di Jawa Timur dengan Kediri sebagai basis utamanya. 

Tekad perang gerilya Tan Malaka menyusul isyarat Belanda akan menyerang Yogyakarta, ibu kota negara Republik Indonesia setelah dipindahkan dari Jakarta pada 1946. Tan Malaka menganggap Yogyakarta waktu itu sudah tidak aman dan dikhawatirkan Belanda akan menduduki Ibu Kota. Kekhawatiran itu kelak terbukti ketika Belanda menyerang Yogyakarta dalam peristiwa yang disebut Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.

Tan Malaka sesungguhnya memiliki dua pilihan wilayah sebagai basis perang gerilya, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Tapi akhirnya dia memilih Jawa Timur karena dianggap lebih strategis. Dia bahkan telah mencanangkan Jawa Timur dua puluh empat tahun sebelumnya, seperti ditulisnya dalam Menuju Republik Indonesia, “pukulan strategis yang akan kita lancarkan kemudian di lembah Bengawan Solo (Yogya, Solo, Madiun, Kediri, dan Surabaya).”

Tetapi di Kediri itulah Tan Malaka menemui akhir hayatnya. Berdasarkan penelusuran Poeze, Tan Malaka ditembak mati, bukan oleh tentara Sekutu atau Belanda, melainkan oleh tentara Republik dari Batalion Sikatan, Divisi Brawijaya, pada 21 Februari 1949. Orang yang paling bertanggung jawab ialah Sukotjo, komandan peleton dari salah satu Batalion Sikatan dan kelak menjadi wali kota Surabaya.

Sukotjo dan anak-buahnya, tulis Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid IV: September 1948-Desember 1949), menangkap Tan Malaka di Selopanggung, sebuah desa di sepanjang jalan terusan ke Gunung Wilis. “Sukotjo tahu siapa tahanannya … Sukotjo memberikan perintah; dan orang yang ditugasi menembak ialah Suradi Tekebek.”

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya