Jenderal Hoegeng, Pejuang Integritas dari Mabak

Mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso
Sumber :
  • Buku autobiografi 'Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan'/Pustaka Sinar Harapan

VIVA – Mendiang Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur pernah berseloroh, bahwa hanya ada tiga polisi di Indonesia ini yang tidak bisa disuap. Patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng.

Kisah Jenderal Hoegeng, Sosok Polisi Sejati Indonesia

Humor khas Gus Dur itu masih terngiang hingga kini, di mana praktik korupsi kian merajalela di negeri ini. Tak hanya para penegak hukum yang mudah disuap, hampir semua institusi di republik ini sudah terjangkit penyakit korupsi. KPK bolak-balik menangkapi pejabat yang mencuri duit rakyat.

Sosok Hoegeng seperti oase di tengah kerinduan publik akan sosok penegak hukum yang jujur, bersih, bersahaja dan berkomitmen tinggi terhadap sumpahnya. Rasanya, pantas Hoegeng dijuluki sebagai pahlawan antikorupsi, yang selalu menjadi teladan Korps Bhayangkara.

Mengenang Sang Prajurit Tangguh, Letjen TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo

Hoegeng lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 14 Oktober 1921 dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo dan Oemi Kalsoem. Hoegeng mengaku sebenarnya Ia punya empat nama, Abdul Latif (pemberian teman ayah dari Arab), Hoegeng Iman Santoso (pemberian ayah), Hoegeng Iman Soedjono (pemberian eyang putrinya), dan Hoegeng Iman Waskito (pemberian nenek buyutnya).

Tapi, Ia lebih suka dengan nama Hoegeng. Konon, semasa kecil tubuhnya gemuk sehingga dipanggil 'Bugel' (si gemuk). Entah kenapa panggilan sehari-hari menjadi 'Bugeng', lama kelamaan sampai dewasa dipanggil Hugeng (ejaan lama Hoegeng), dan lengkapnya Hoegeng Iman Santoso, seperti nama pemberian ayahnya.

Konser Yogyakarta Royal Orchestra Rayakan Kisah Keberanian Pahlawan

Ayahnya, Soekario Kario Hatmodjo, merupakan seorang Kepala Kejaksaan Karesidenan Pekalongan. Sedangkan sang ibu, Oemi Kalsoem, merupakan ibu rumah tangga yang selalu menanamkan nilai-nilai budi pekerti baik kepada Hoegeng dan adik-adiknya.

Kisah-kisah inspiratif Hoegeng seolah tak pernah luntur. Meski wafat pada 14 Juli 2004 silam, sosoknya seperti 'hidup' sebagaimana dituangkan dalam sebuah buku autobiografi 'Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan'. Ditulis oleh Ramadhan KH dan Abrar Yuska, terbitan Pustaka Sinar Harapan 1993.

Saat menjabat Kapolri, Hoegeng pernah menolak pemberian seorang wanita cantik yang ternyata tengah berperkara kasus penyelundupan. Wanita cantik yang tak disebutkan namanya itu menurut Hoegeng, ingin berupaya menyuap aparat agar kasusnya di Kepolisian dihentikan.

Wanita itu tak kehilangan akal, dengan meminta sejumlah relasinya yang menjadi pejabat penting di Kepolisian, Tentara dan Kejaksaan, untuk melobi Hoegeng agar menghentikan kasusnya.

"Saya hanya terheran-heran atas alasan yang diajukan pada saya. Hukum biarlah tidak tegak atau tidak ditegakkan demi kepentingan beberapa personel pejabat negara, suatu kenyataan yang menyedihkan," kata Hoegeng dalam buku memoarnya.

Penolakan itu dianggap Hoegeng sudah cukup membuat wanita cantik itu menyerah. Tapi beberapa hari kemudian, istrinya, Mery Roeslani, menghubungi lewat telepon bahwa ada tamu mengirimkan banyak hadiah dalam sebuah peti ke rumah.

Ternyata, setelah Hoegeng sampai ke rumah, diketahui bahwa pengirim hadiah-hadiah mahal itu adalah wanita cantik yang berperkara di Kepolisian. Walau berdalih pemberian itu sebagai penghormatan dan bukan suap, Hoegeng tetap meminta istrinya mengembalikan semua hadiah itu ke pengirimnya.

Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita cantik itu tak segan tidur dengan pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya.

Cukong dan Toko Bunga

Ujian integritas Hoegeng bukan kali ini saja, jauh sebelum menjabat Kapolri, waktu baru menjabat Kepala Reserse Sumatera Utara, Hoegeng pernah mendapat sambutan unik. Ya, setibanya di pelabuhan Belawan, Hoegeng disambut beberapa orang yang belakangan diketahui mereka adalah cukong perjudian.

Para cukong itu sudah menyiapkan mobil dan rumah untuk Hoegeng selama bertugas di Sumut. Tapi, Hoegeng menolak dan lebih memilih tinggal di hotel sebelum mendapatkan rumah dinas.

"Mobil dan rumah itu harap disimpan dulu. Nanti saya beritahu kapan saya memerlukannya. Pokoknya disimpan saja dulu!" kata Hoegeng.

Para cukong itu tak kehabisan akal, setelah rumah dinasnya siap digunakan, Hoegeng dibuat keheranan ketika mendapat laporan dari bawahannya bahwa rumah dinasnya sudah dipenuhi berbagai perabotan rumah tangga lengkap dari para cukong yang menyambutnya di Belawan.

Hoegeng marah dan minta agar cukong itu mengeluarkan semua hadiah perabot rumah tangga di rumah dinasnya. Tapi gertakannya itu tak diindahkan, sampai Ia menyuruh kuli dan anggota untuk mengeluarkan perabot-perabot mahal itu dari rumah dan ditaruh di pinggir jalan.

Tak hanya saat menjabat di Kepolisian, integritas sudah terpatri dalam diri Hoegeng. Sehari sebelum dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (kini jabatan ini disebut Dirjen Imigrasi) tahun 1960, Hoegeng meminta istrinya, Mery, menutup toko bunga milik keluarga yang saat itu cukup laris dan berkembang.

Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan istrinya. Apa hubungannya dilantik sebagai kepala jawatan imigrasi dengan menutup toko bunga.

"Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya," kata Hoegeng.

Istri Hoegeng yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih memahami maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga walau saat itu sudah maju dan besar. "Bapak tak ingin orang-orang beli bunga di toko itu karena jabatan bapak," kata Mery.

Apapun, Hoegeng adalah inspirasi bagi siapa pun yang bekerja dengan jujur, memegang sumpah jabatan dan profesionalitas. Dalam memoarnya, Hoegeng sempat berkata: "Orang yang hidup lurus apakah mesti kurus di zaman ini? Saya tidak tahu. Apalagi pegawai negeri dan pejabat pemerintahan. Kita tidak tahu bagaimana orang hidup terus, tapi jujur atau lurus, terus!"

Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Oktober 1971. Saat itu, Ia baru tiga tahun menjabat Kapolri. Sempat ditawari sebagai duta besar di Belgia, Hoegeng menolak karena merasa tidak cocok dengan jabatan itu. Ikon polisi jujur itu pun memilih pensiun. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya