Kisah Kusumah Atmadja Tolak Intervensi Bung Karno

Pahlawan Nasional dan Ketua Mahkamah Agung Pertama Dr Kusumah Atmadja
Sumber :
  • pahlawancenter.com

VIVA – "Berikan kepadaku jaksa dan hakim yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun saya dapat membuat putusan yang baik." Begitu kata-kata Profesor Taverne pernah menggema ke seantero dunia.

Bappenas Bantah Rumor Peleburan KPK dengan Ombudsman

Tak terbantah, pandangan Taverne ini masih menjadi salah satu maxim hukum yang sangat masyhur dalam studi dan diskursus hukum dewasa ini. Bahkan banyak kalangan akadimis hukum menilai pandangan Taverne ingin memberikan satu alternatif bagi upaya penegakan supremasi hukum, sekalipun dalam sistem atau alam hukum yang belum padu dan memadai.

Bicara soal hakim, negara Indonesia pun pernah memiliki pahlawan. Integritasnya tidak diragukan lagi. Sangar dan tak pandang bulu. Hukum di tangannya, bak pedang bermata dua. Adalah dia, Prof. Dr. Mr. Kusumah Atmaja.

Dikutip dari Wikipedia Indonesia, pemilik nama lengkap Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja, yang lahir di Purwakarta 8 September 1898 ini merupakan pahlawan Indonesia dan Ketua Mahkamah Agung pertama di Tanah Air.

Sepak terjangnya dibumbui lika-liku kolonial. Namun dia tetap teguh menegakkan hukum di Tanah Air. Pulang dari negeri Belanda dengan menggondol Gelar Meester in de Rechten (Mr) yang kemudian di Indonesia menjadi Sarjana Hukum (S.H). Kusumah Atmadja ditempatkan di Jakarta sebagai Presiden Raad van Justitie. Setahun kemudian, pada 1924, ia dipindahkan menjadi Voorzitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu dan Majalengka.

Setelah menjalankan tugas tiga tahun di Indramayu dan Majalengka dipindahkan ke Padang. Hingga tahun 1931 bekerja di Padang kurang lebih tiga tahun lamanya.

Mengenang Sang Prajurit Tangguh, Letjen TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo

Sebagai seorang yang terkenal saleh, Kusumah mendapat penghormatan pula dari masyarakat muslim di Padang. Kusumah kemudian diangkat jadi anggota kehormatan "Persatuan Muslimin Indonesia".

Pada tahun 1931, dia dipindahkan ke Jakarta, dengan jabatan Ketua Pengadilan Negeri di Jakarta sekaligus di Tangerang. Selama bekerja sebagai hakim pemerintah, Kusumah Atmadja tak pernah aktif dalam sesuatu partai politik yang mencita-citakan Indonesia Merdeka.

Hal itu disebabkan jabatan sebagai seorang hakim tidak memungkinkan bergerak di lapangan politik. Meskipun demikian, ia terus mendukung perjuangan kemerdekaan bangsanya. Khusus bidang hukum, Ia memperjuangkan agar terhadap orang Indonesia asli diperlakukan hukum adat.

Kusumah gemar berolah raga, terutama sepakbola dan pernah dipilih menjadi Ketua PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia). Karier Kusumah Atmadja tidak pernah tercela. Pada tahun 1938 dipindahkan menjadi Voorzitter Landraad di Semarang dan Kendal. Setahun kemudian diangkat menjadi anggota Raad van Justitie di Semarang sebagai satu-satunya orang Indonesia yang duduk di dalam Raad van Justitie itu.

Menjelang akhir pendudukan Jepang, dipindahkan ke Jakarta untuk memangku Wakil Ketua Kooto Hooin Jakarta. Di samping itu ia ditugaskan pula mengajar di Kenchoku Gakuin.

Dengan diproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, terbukalah kesempatan seluas-luasnya bagi bangsa kita untuk menyusun dan mengatur pemerintahan sendiri.

Pada 19 Agustus 1945 Kusumah Atmadja ditugaskan oleh Pemerintah RI untuk membentuk Mahkamah Agung dan sekaligus diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung RI yang pertama. MA sebagai organ milik pemerintah sangat penting untuk pembinaan serta kehidupan hukum suatu negara. Lebih-lebih untuk suatu negara yang baru berdiri dengan merdeka bebas dari pengaruh asing.

Banyak hal yang menyangkut masalah hukum di masa-masa penjajahan kurang sesuai dengan selera serta iklim bangsa yang merdeka. Hal ini jadi tugas Ketua MA untuk membenahinya sesuai cita-cita kemerdekaan. Tapi berkat kemauan dan disiplinnya yang keras, tugas berat itu dapat diselesaikan Kusumah Atmaja dengan baik.

Penolakan Kusumah Atmaja atas "permintaan" Presiden Soekarno terkait proses pengadilan kepada orang-orang yang terlibat kudeta 3 Juli 1946 pun sangat menarik untuk dibicarakan.

Dalam pahlawancenter disebutkan, perkara yang terjadi pada 1946 itu terkesan cukup rumit lagi serius.

Kasus yang ditangani Kusumah Atmadja dan membuat Presiden Soekarno dilema itu adalah masalah kasus upaya menggulingkan pemerintahan yang dimotori oleh seorang petinggi militer bernama Mayor Jenderal Soedarsono. 

Konser Yogyakarta Royal Orchestra Rayakan Kisah Keberanian Pahlawan

Mayjen Soedarsono saat itu menjabat Panglima Divisi III di Yogyakarta. Yang menjadi sasaran kudeta itu sebenarnya bukan Soekarno selaku presiden, melainkan kabinet yang dipimpin Soetan Sjahrir sebagai perdana menteri.

Tujuannya agar ndonesia kembali menjadi presidensial, di mana Presiden Soekarno menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Pada tanggal 26 Juni 1946, kemudian terjadi penculikan terhadap Sjahrir di Surakarta oleh kelompok oposisi yang menamakan diri Persatuan Perjuangan dengan Mayjen Soedarsono selaku penggerak utamanya, dibantu oleh 14 orang pimpinan sipil. Sjahrir ditahan di Boyolali, dan Tan Malaka merupakan salah satu yang dituduh sebagai aktor kudeta ini.

Nama Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat pula terseret dalam perkara ini kendati dia akhirnya selamat dari tuduhan.

Dalam buku berjudul Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya yang ditulis Rosihan Anwar, disebutkan bahwa Soedirman memang bersimpati dengan gerakan Persatuan Perjuangan yang dimotori Tan Malaka, lantaran juga tidak sepakat dengan jalur diplomasi yang dirasa sangat lembek menghadapi Belanda.

Drama itu berakhir dengan ditangkapnya Sudarsono dan para koleganya. Para pelaku lalu diajukan ke Mahkamah Tentara Agung yang diketuai Kusumah Atmaja. Namun ternyata mereka yang terlibat perkara ini adalah orang-orang yang dekat dengan Presiden Soekarno, termasuk Muhammad Yamin.

Selain Mayjen Soedarsono dan M. Yamin, ada sejumlah tokoh lain yang dituduh terlibat. Mereka dikenal memiliki hubungan baik dengan presiden Soekarno, di antaranya yakni Iwa Kusuma Sumantri, Achmad Soebardjo, Budiarto Martoatmojo, Buntaran Martoatmojo, R. Muhammad Saleh.

Dalam literatur The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, 2005, yang ditulis oleh Sebastiaan Pompe disebutkan Soekarno sempat berusaha mendekati Kusuma Atmaja mengenai kasus itu.

Soekarno dikisahkan memang tidak frontal melakukan intervensi kepada Kusumah Atmadja atas kasus ini. Usaha mempengaruhi dilakukannya dengan cara halus yakni meminta Kusumah Atmadja bertindak lebih lembut kepada para terdakwa. Namun permintaan itu ditolak mentah-mentah. Bahkan Kusumah mengancam mundur dari jabatannya jika Presiden Soekarno mencampuri kasus ini.

Bagi Kusumah independensi institusi kehakiman wajib terjaga dan tidak boleh diintervensi, sekalipun oleh presiden.

Pengadilan tetap digelar, dan Kusumah memvonis Mayjen Soedarsono 4 tahun penjara serta dipecat dan dicabut hak dan jabatannya di ketentaraan. Lama hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada Yamin.

Sementara Budiarto Martoatmojo dibui selama 3 tahun 6 bulan, dan Achmad Soebardjo serta Iwa Kusuma Sumantri masing-masing dihukum 3 tahun penjara.

Selanjutnya Kusuma Atmaja menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan kepada R. Muhammad Saleh, sedangkan Buntaran Martoatmojo bakal menjalani kurungan selama 2 tahun. Sedangkan tujuh terdakwa lainnya dibebaskan karena tak cukup bukti. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya