Rumah Rode, Markas Aktivis Tumbangkan Orba Diusulkan Jadi Cagar Budaya

Rumah Rode di Yogyakarta
Sumber :
  • VIVA.co.id/Daru Waskita

VIVA – Sebuah rumah sederhana dengan ukuran tak begitu besar bercat biru dan putih menjadi saksi sejarah perjuangan mahasiswa. Tak hanya di Yogyakarta, kota lain juga mengenang menegakkan demokrasi hingga tumbangnya rezim Orde Baru.

Heru Budi Mengaku Tak Tahu soal Anggaran Restorasi Rumah Dinas Capai Rp 22 M

Rumah yang berada di Jalan Sultan Agung, Gang Rode No 610 Kota Yogyakarta itu menjadi tempat lahirnya aktivis dari kalangan mahasiswa era tahun 1980an. Alumnus aktivis itu rata-rata berada di parlemen hingga menjadi pejabat di pemerintahan.

Salah satu aktivis alumni Rumah RODE 610 adalah Budiman Sudjatmiko, yang kini tercatat sebagai anggota Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan.

Makam Sunan Kalijaga Terendam Banjir, Peziarah Tetap Berdatangan: Berdoa Air Cepat Surut

Begitu legendarisnya Rumah RODE 610 yang merupakan kepanjangan dari gerakan prodemokrasi ini juga diakui sejarawan yang juga Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan Nasional RI, Hilmar Farid.

"Ini rumah yang sangat bersejarah karena dari rumah yang sederhana ini lahir puluhan bahkan ratusan aktivis pro demokrasi yang selalu mengawal proses demokrasi di Indonesia," kata Hilmar, Selasa, 20 November 2018.

Lestarikan Budaya, Banten Bistro Berganti Nama Jadi The Kaibon Restaurant

Dikatakan Hilmar, Rumah Rode 610 yang hingga kini masih menjadi basis aktivis gerakan mahasiswa tetap tidak berubah dari fisik bangunan dan fungsinya. Rumah Rode masih jadi tempat diskusi dan belajar politik para aktivis dari aktivis mahasiswa di Yogyakarta dan kota besar lainnya.

"Saya kira Rumah RODE 610 ini layak untuk dijadikan sebagai salah satu bangunan cagar budaya," ujarnya.

Secara terpisah, Deputi IV Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo mengatakan keberadaan Rumah Rode 610 ini satu-satunya yang ada di Indonesia. Ia menggambarkan aktivitas mahasiswa dan rumah seperti menyatu dalam dinamika politik selama 30 tahun dengan memunculkan regenerasi.

"Tidak ada di tempat lain ada rumah dan aktivisnya yang menyatu sebagai suatu komunitas yang bertahan sampai saat ini. Saya dulu dari Solo selalu mampir ke rumah ini kalau ada konsolidasi gerakan melawan rezim Orde Baru," ujar Eko.

Sedangkan, bagi Budiman Sudjatmiko Rumah Rode 610 mempunyai kenangan tersendiri. Ia tak menampik rumah sederhana itu menjadi bagian sejarah hidupnya. Budiman setuju bila rumah sejarah aktivis itu ditetapkan menjadi cagar budaya. "Saya belajar politik di Rumah Rode sejak SMA dan awal masuk kampus UGM," katanya.

Politikus PDI Perjuangan itu juga menyebut peran Rumah Rode 610 menjadi tempat baca buku, diskusi, rapat aksi demonstrasi sampai melakukan advokasi buruh dan petani. "Saya belajar nilai kolektif kebersamaan dan tidak hanya memikirkan hidupnya sendiri melainkan harus berjuang bersama rakyat ya di Rumah Rode 610 ini," ujar anggota Komisi II DPR RI ini.

Adapun Ketua Panitia Rembuk Nasional 30 Tahun Rumah Rode 610, Suprianto Antok mengatakan, setiap dua tahun sekali para alumni dari kelompok Rumah Rode 610 dari periode awal sampai generasi zaman now selalu mengadakan pertemuan untuk bersilaturahmi.

Tujuan silaturahmi ini untuk mendiskusikan situasi politik nasional, gerakan mahasiswa sampai gerakan demokrasi civil society terkini.

"Memang para aktivis saat banyak terjun ke dunia politik bahkan berbeda haluan politik namun kita tak bisa dipisahkan dengan Rumah RODE 610. Ini rumah kita semua," jelasnya.

Sementara, Ifdhal Kasim, mantan Ketua Komnas HAM RI dan kini menjadi Tenaga Ahli Utama KSP mengaku menjadi bagian dari penghuni dari generasi pertama Rumah RODE 610 saat masih menjadi aktivis mahasiswa UII tahun 1988.

Dinamika intelektual kritis, advokasi rakyat dan aksi jalanan demonstrasi menjadi kesatuan aktivitas yang benar-benar menempa diri mahasiswa dari dulu sampai sekarang. "Tidak berlebihan jika Rumah Rode 610 didorong agar ditetapkan menjadi cagar budaya oleh pemerintah," ujarnya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya