Sistem Politik Indonesia Masih Buka Keran Korupsi

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sumber :
  • ANTARA/Hafidz Mubarak

VIVA – Korupsi di sektor politik masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Sebab, sejak berdiri hingga saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menjerat 891 koruptor. Dari jumlah tersebut, sebanyak 61,17 persen atau 545 koruptor berasal dari unsur politik.

Dugaan Korupsi Rp 8 Miliar, Kejari Medan Tahan Eks Dirut RSUP Adam Malik

Pakar Hukum dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Ganarsih mengatakan, maraknya aktor politik yang terjerat korupsi, karena sistem politik di Indonesia masih membuka ruang terjadi praktik rasuah.

"Sistem dan pengaturan ketentuan pemilu baik, pilkada, pileg, bahkan pilpres. Di sistem politik sendiri, itu mereka terima sumbangan. Harus ada kontribusi dari para kader dan pengurus. Setelah itu, mungkin mereka calon. Sejak awal sendiri, sistemnya seperti itu," kata Yenti kepada wartawan, Selasa, 27 November 2018.

KPK Siap Dampingi Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran dari Potensi Korupsi

Potensi terjadinya praktik korupsi terus berlanjut ketika seseorang ingin mencalonkan diri sebagai penyelenggara negara, baik kepala daerah, maupun anggota legislatif. Para calon harus menyiapkan dana untuk disetor kepada partai atau yang dikenal dengan istilah mahar politik.

Meskipun pihak parpol membantah, namun faktanya sejumlah calon membenarkan adanya mahar tersebut. Ditegaskan Yenti, mahar politik sejatinya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Hakim Geram ke Saksi di Sidang Korupsi Tol MBZ: Proyek Triliunan Gini kok Main-main

Calon yang menyetor untuk mendapatkan tiket dukungan dari parpol dapat dikategorikan sebagai suap. Sementara partai yang minta mahar dapat dijerat dengan pemerasan.

Menurut Yenti, pemerasan tidak harus dilakukan dengan kekerasan. Tapi, dengan isyarat pun dapat dikategorikan sebagai pemerasan. "Menurut istilah mereka mahar, ya menurut istilah pidana namanya mahar sama dengan penyuapan itu sebenarnya. Memberi sesuatu agar menjadi sesuatu yang seharusnya tidak menjadi," ujarnya.

Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi - KPK di Jakarta.

Selain itu, peluang terjadinya korupsi juga terbuka melalui pengaturan pendanaan kampanye. Dalam regulasi pilkada, hanya diatur mengenai besaran sumbangan perorangan dan korporasi. Namun, tak diatur soal pihak penyumbang.

Padahal, menurut Yenti, pihak penyumbang ini bisa jadi pelaku korupsi atau pihak-pihak yang akan diuntungkan, jika calon tersebut terpilih sebagai kepala daerah.

"Lalu, penyumbang-penyumbang ini siapa? Bisa jadi kan, penyumbang ini yang menggerogoti saat orang itu jadi terpilih yang memengaruhi kebijakan mereka," jelas Yenti.

Selain itu, tanpa adanya pengaturan yang jelas mengenai pihak penyumbang, membuka ruang pendanaan politik menjadi sarana melakukan tindak pidana pencucian uang.

"Bagi orang yang sejak awal melakukan tindak pidana korupsi dan hasilnya untuk kampanye, itu juga melakukan korupsi dan pencucian uang," ujar Yenti.

Yenti berpendapat, korupsi di sektor politik juga terjadi karena besarnya kewenangan yang diberikan kepada parpol. Parpol menjadi satu-satunya organisasi yang bisa mencalonkan kepala daerah, anggota legislatif bahkan presiden.

Dengan begitu, kepala daerah atau legislator berasal dari partai politik. Akibatnya, tak ada kontrol dari legislator kepada kepala daerah karena sama-sama berasal dari partai politik.

"Kontrolnya jadi tak ada. Kepala daerah dari partai, fraksi itu bagian dari partainya dia. Terkamuflase semua," kata Yenti.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya