Zul Karnedi, Bidan Ribuan Penyu Langka dari Bengkulu

Seorang pengunjung berpose bersama seekor penyu hasil penangkaran.
Sumber :
  • VIVA/Harry Siswoyo

VIVA – Beberapa tahun lalu, lelaki berkulit legam ini pernah dicemooh dan dianggap tak waras lantaran menanami ratusan batang Cemara Laut sepanjang 2,5 kilometer bersama istri dan anak-anaknya.

Bantu Lestarikan Ekosistem, JFX dan AGP Tanam Mangrove dan Lepas Satwa di Pulau Sebaru

Namun, bapak enam anak itu tak peduli. Kegilaannya itu kini berbuah. Pantai di belakang rumahnya pun menjadi rindang. Cemara-cemara itu kini menjadi benteng pertama ketika abrasi mengancam desa mereka.

Dan kini, nelayan yang pernah dianggap gila itu kembali 'berulah'. Bersama anak dan istrinya, ia membuat tempat pengeraman telur-telur penyu, ditetaskan dan kemudian dilepas lagi ke laut lepas.

Tersangka Penangkapan Penyu Hijau Terancam 5 Tahun Penjara

Cemooh dan ejekan pun kembali didapat Zul. Namun sekali lagi, ia tak peduli. Bersama keluarganya, Zul tetap memilih 'gila' untuk merawat bayi-bayi penyu langka.

"Niat saya itu cuma untuk anak cucu. Sekaligus menebus dosa. Terserah orang mau bilang apa," ujar Zul Karnedi (50 tahun), akhir pekan lalu.

Terios 7 Wonders 2024: Kisah Sedih Danau Tolire hingga Bambu Gila

Zul Karnedi, pendiri Kelompok Pelestari Penyu Alun Utara

Dahulu, ketika Zul masih kanak, pria yang kini menetap di Desa Pekik Nyaring, Kabupaten Bengkulu Tengah ini mengaku memiliki cerita kelam soal penyu. "Ayah dan kakek saya sering menangkap dan membunuh penyu, termasuk telurnya untuk dimakan dan dijual," katanya.

Bahkan, Zul juga tak menampik jika ia pernah melakoni menjadi penjaja telur penyu. Maklum, keahliannya mencari tempat penyu mendarat untuk bertelur juga didapat dari ayah dan kakeknya.

Namun dari situ, perlahan ia mulai menyadari pekerjaan itu merugikan. Sejak itu, pada 2011, ia memutuskan untuk berhenti menjual telur penyu dan memilih untuk merawatnya.

Namun, karena keterbatasan biaya, rencana itu pun akhirnya tak maksimal. Sampai akhirnya pada 2016, niatannya disambut oleh pemerintah. Zul pun ditunjuk untuk menjadi penanggung jawab kelompok nelayan pelestari penyu, yang dinamainya sendiri Alun Utara.

"Itu kenapa saya sebut menebus dosa. Setidaknya yang saya lakukan ini mungkin kelak bermanfaat untuk anak cucu," katanya.

Melawan Keterbatasan

Niatan luhur itu pun bersambut juga dengan keluarganya. Karena itu, ia bersama anak dan istrinya pun mulai berburu telur penyu.

Namun, tidak dengan mencari penyu di habitat alami. Ia hanya membeli telur penyu yang didapat nelayan di lingkungan tempat tinggalnya.

Sebutir telur penyu, sesuai dengan anggaran yang disediakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu, dihargai Rp8.000. Bermodal itu lah, Zul pun mulai menyelamatkan telur-telur penyu langka yang hendak dijual di pasar-pasar tradisional.

Meski harus kalah bersaing dengan para pembeli lain yang berani membayar Rp10.000 sampai Rp15.000 per butir telur penyu, Zul tak kalah semangat. Ia tetap berupaya membujuk para penemu telur penyu untuk menjual telur mereka dengan harga Rp8.000 per butir.

Sekaligus juga menjadi upaya Zul memberitahu para nelayan bahwa telur-telur penyu langka itu tak boleh dijual di pasaran.

"Kalau dikira-kira. Paling cuma 10-20 persen jumlah telur di pasar yang bisa kami beli. Selebihnya itu tetap beredar di pasar. Ya, mau bagaimana lagi," katanya.

Zul Karnedi bersama anak dan pengunjung di tempat penangkaran penyu.

Tak imbangnya modal yang dikantongi Zul untuk menebus telur di pasar memang menjadi masalah pelik. Tahun 2018, misalnya, Zul hanya mampu membuat sarang pengeraman sebanyak 19 buah ember yang berisi lebih kurang 1.500 butir telur penyu.

Jumlah itu jauh lebih kecil dari telur yang lolos di pasar-pasar tradisional. "Bisa dua kali lipat dari itu yang tetap beredar di pasar. Tapi apa boleh buat. Uangnya terbatas untuk membeli, lagian orang lebih memilih menjual ke penawar tertinggi," katanya.

Namun, kendala itu tak menjadi persoalan. Bagi Zul, penyelamatan penyu-penyu langka itu harus tetap berjalan.

Bersama istri dan anak-anaknya, mereka merawat telur-telur itu dalam sebuah ember berisi pasir di rumah mereka sampai dengan menetas atau lebih kurang 60 hari.

Setiap ember pasir yang disebutnya sebagai sarang, Zul biasanya menaruh telur paling banyak 180 butir. Itu untuk mencegah terlalu padat telur yang hendak ditetaskan termasuk untuk menghindari kematian tukik.

Tidak ada kendala berarti bagi Zul selama proses pengeraman. Kunci pentingnya cukup menjaga suhu pasir di ember antara 30-35 derajat. "Kalau terlalu rendah suhunya, kasih (sinar) Matahari sedikit; kalau kepanasan, cukup siram air laut sedikit-sedikit. Itu saja," ujar Zul.

Tanpa Pamrih

Memang harus ada perhatian serius ketika telur-telur itu mulai menetas. Sebab biasanya ketika ada satu telur menetas, ia cenderung bersamaan dengan yang lain.

Ketika itu lah Zul bersama anak dan istrinya mesti membantu proses pelepasan tukik dari cangkang telur, layaknya bidan yang membantu proses kelahiran bayi. Sebab lamban sedikit mengeluarkan para tukik dari ember, bisa berakibat kematian.

"Ini kan sarang buatan jadi mesti dibantu. Kita juga harus memotong semacam tali pusar yang melekat antara tukik dan cangkang telur, kadang itu satu per satu," ujar Zul.

Zul Karnedi, Bidan Ribuan Penyu Langka dari Bengkulu

Baru setelah itu, untuk beberapa waktu, tukik-tukik ini pun dimasukkan ke ember berisi air laut jernih untuk membersihkan pasir yang melekat, dan kemudian selanjutnya dimasukkan dalam wadah yang lebih bersih.

Untuk pakan, khusus yang baru menetas, biasanya ia hanya memberi makan berupa bulir sabut kelapa setengah tua. Pemberian pakan ini umumnya berlangsung antara sepekan atau lebih.

Baru kemudian setelah dianggap siap, para tukik ini diberi makan berupa ikan segar yang telah dipotong-potong. "Sehari bisa dua kilogram ikan. Tapi Alhamdulillah, tidak ada kendala. Paling kalau badai, ikan agak susah didapat," ujarnya.

Dengan segala keterbatasannya, Zul dan keluarga tetap gigih menyelamatkan penyu-penyu langka. Meski kemudian hasil penetasan penyu-penyu itu kemudian dipergunakan oleh pemerintah dan kadang dimanfaatkan lembaga konservasi penyu untuk acara seremoni pelepasan tukik.

Bagi Zul tak perlu diperdebatkan lagi. Ia hanya ingin telur penyu-penyu langka seperti penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), yang kerap ditemukan nelayan di sepanjang pantai tepi barat Bengkulu tetap ada.

"Kalau ditanya uang untuk keperluan dapur, tidak pernah ada dari perawatan tukik-tukik ini. Semua ikhlas kami kerjakan. Saya bangga dengan keluarga mau menjalankannya tanpa pamrih," ujar Zul. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya