UGM Minta Maaf Lamban Tangani Kasus Pelecehan Seks di Kampus

Mahasiswa berada di dekat poster penolakan terhadap kekerasan seksual saat aksi damai Universitas Gadjah Mada (UGM) Darurat Kekerasan Seksual di Kampus Fisipol UGM, Sleman, DI Yogyakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

VIVA – Universitas Gadjah Mada (UGM) mengakui lamban dalam menangani kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan mahasiswa saat KKN di Seram, Maluku 2017 silam. Untuk itu UGM meminta maaf kepada publik atas kelambanan itu.

Polisi Periksa 21 Saksi Terkait Kasus TPPU yang Jerat Ahli Nuklir UGM

“UGM mengakui telah terjadi kelambanan dalam merespons peristiwa itu (dugaan pelecehan seksual) dan UGM meminta maaf atas kelambanan yang terjadi. Kelambanan ini telah berdampak serius secara psikologis, finansial dan akademik pada terduga penyintas dan terduga pelaku,” kata Rektor UGM, Prof Panut Mulyono di Yogyakarta, Jumat 7 Desember 2018.

Menurut dia, berdasarkan temuan tim investigasi internal disimpulkan telah terjadi dugaan pelecehan seksual yang dilakukan mahasiswa KKN kepada mahasiswa KKN lain di sub unit 2 Nasiri, Kabupaten Seram Barat, Maluku pada periode KKN Juli-Agustus 2017.

Ahli Nuklir UGM Jadi DPO Kasus Penggelapan Rp 9,2 Miliar, Begini Kronologinya

“UGM menyadari bahwa pelecehan seksual merupakan persoalan serius yang seharusnya tidak terjadi di mana pun khususnya di institusi pendidikan tinggi seperti UGM,” kata dia.

Panut mengungkapkan, sejumlah langkah dilakukan di antaranya membatalkan dan menarik terduga pelaku dari keikutsertaannya dalam program KKN. UGM juga membentuk sejumlah tim yakni tim pencari fakta, tim evaluasi KKN, komite etik dan membentuk tim penyusunan kebijakan pencegahan dan penanggulangan pelecehan seksual.

Pimpinan Jemaah Aolia Ternyata Sempat Kuliah di Fakultas Kedokteran UGM

Sementara Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni, Paripurna memastikan bahwa kelambanan dalam merespons peristiwa dugaan pelecehan seksual ini tidak ada unsur kesengajaan. Menurutnya, lambannya penanganan kasus ini lantaran UGM mengedepankan unsur kehati-hatian.

“Kelambanan ini banyak disampaikan oleh banyak pihak. Ini menjadi bahan introspeksi UGM. Ini tidak ada unsur kesengajaan, namun unsur kehati-hatian menjadi proses ini lama,” kata Paripurna.

UGM juga berjanji akan menangani kasus-kasus dugaan pelecehan seksual yang lain. Seperti diketahui, selain kasus ini sebelumnya juga sempat mencuat dugaan pelecehan oleh oknum dosen Fisipol beberapa waktu lalu. Pelecehan itu terjadi sekitar 2015 dan baru diketahui awal 2016.

“Tentang kasus serupa yang kemungkinan ada kami akan berbenah diri. Namun sanksi diberikan setelah ada rekomendasi komite etik. Untuk kasus-kasus yang lain kami akan memperlakukan hal yang saja,” kata dia.

Saat ini UGM masih menunggu rekomendasi dari tim etik terkait sangsi yang akan diberikan kepada terduga pelaku. Dr Paripurna memastikan, bahwa tim etik akan bekerja independen dan tidak akan terpengaruh oleh langkah Kepolisian yang saat ini juga tengah menyelidiki kasus dugaan pelecehan seksual ini.

“Komite etik independen dengan menggunakan pengetahuan dan pengalaman untuk memberikan rekomendasi kepada pimpinan fakultas. Deadlinenya 31 Desember,” ujarnya menjelaskan.

Sementara itu Natasha, aktivis #SayaAgni mengaku kecewa dengan langkah kampus yang membawa kasus ini ke ranah hukum. Menurutnya, penyintas (korban) tidak ingin kasus ini dibawa ke ranah hukum. Penyintas hanya ingin terduga pelaku dikeluarkan dari UGM.

“Penyintas tidak ingin kasus ini dibawa ke polisi. Dia hanya ingin pelaku di-DO. Studi lebih dari 5 tahun saja di DO-kok, apalagi ini pelanggarannya lebih berat harusnya juga di-DO,” kata Natasha. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya